Apa yang salah pada anak-anak itu?
Mereka lahir SEBAGAI Muslim, dibesarkan dengan pendidikan Islam, melewati masa kecilnya dengan hafalan ayat-ayat suci Al-Quran serta doa-doa shalat, dan mengisi masa belianya dengan mengaji di mesjid-mesjid, madrasah maupun pesantren. Mereka hafal beberapa hadits Nabi Muhammad maupun bait-bait Barzanji. Tetapi ketika menginjak masa remaja, tak ada kebanggaan di dadanya untuk berkata, “Isyhadu bi anna Muslimun! Saksikanlah bahwa aku adalah seorang muslim.
Apa yang salah pada anak-anak itu?
Mereka telah belajar tentang halal dan haram, Mereka juga belajar tentang makruh dan sunnah, Bahkan puasa-puasa sunnah mereka lakukan. Demi memperoleh ranking pertama di sekolah, atau untuk memperoleh beasiswa yang tak seberapa jumlahnya, atau bahkan sekadar untuk bisa mengerjakan ujian esok hari. Demi hal-hal yang sepele dan remeh-temeh mereka hadapi dengan puasa sunnah, qiyamul lail dan zikir-zikir panjang.
Tetapi ketika mereka mulai menginjak dewasa, apa pun dilakukan untuk memperoleh seperiuk nasi walau dengan menjual agama. Atas nama kemerdekaan berfikir, mereka menadahkan tangan kepada lembaga-lembaga donor dengan proposal untuk mengubah ruh agama.
Apa yang salah pada anak-anak itu?
Ketika kecil mereka dibesarkan dengan tangis orangtua agar kelak menjadi orang yang berguna. Ketika mulai beranjak besar, airmata itu masih belum berhenti mengalir karena banyaknya biaya sekolah yang harus di pikir orang tua. Tetapi ketika mereka telah benar-benar besar, orangtua terkadang masih harus menangis karena anak-anak itu telah melupakan agamanya atau bahkan menodainya. Ada yang bahagia melihat betapa “hebat” anaknya, tetapi diam-diam menabung beratnya pertanggung jawaban di akhirat. MENGAPA ? ikuti Smart Family selanjutnya.