SUATU malam, ada sebuah SMS masuk Isinya cukup singkat, tetapi membuat kita sebagai orangtua tersentak, lalu tercenung sesaat.
Kita mencoba berpikir, sesungguhnya, apa yang terjadi di keluarganya sehingga ia berkirim SMS denga ungkapan, “Ustadz, saya kesepian sekali. Orangtua sama sekali tidak peduli, padahal kami serumah. Kakak-kakak dan adik pun demikian, saya ingin meniggal saja, Ustadz.”
Kegetiran, kesepian dan merasa tak ada lagi artinya hidup lebih lama meski hidup serumah dengan orangtua,akhir-akhir ini agaknya mulai merebak. Anak-anak merasa rumah hanyalah tempat untuk membaringkan letih dan penat. Itu pun denga perasaan yang tidak nyaman, sehingga sebagian di antara mereka bahkan untuk sekadar tidur di rumah pun sangat tidak betah. Mereka merasa tidak memiliki orangtua. Yang mereka miliki hanyalah instruktur yang akan memberi perintah kepada mereka tentang les apa yang harus mereka ambil, menyediakan uang untuk biaya mereka, dan memeriksa hasil belajar mereka. Selebihnya, tak ada waktu untuk berbincang bersama, tak ada tampat untuk bercanda bersama.
Anak-anak yang getir jiwanya itu, dapat memperoleh apa saja, kecuali ketulusan kasih sayang dan kerelaan untuk mendengar dari orangtuanya. Anak-anak itu dapat memuaskan keinginanya untuk membeli apa saja, kecuali yang tidak bisa dibeli dengan uang. Mereka memperoleh selimut-selimut yang tebal untuk tidur, tetapi tanpa kehangatan jiwa dari pelukan tulus seorang ibu. Mereka merasakan sejuknya ruang-ruang berAC, tetapi tidak menemukan kata-kata menyejukkan dari orangtua. Mereka merasa gerah dengan kehidupan dirumah, justru ketika orangtua ada bersama mereka.
Astaghfirullahal ‘azhim, begitu mahalkah waktu untuk anak kita, siapakah yang mampu sebagai PELANJUT AMAL SHALEH selain anak kita, ketika kita telah renta dan tak lagi berdaya, siapakah yang akan menjadi harapan kita untuk merawat dan melayani kita, DOA siapakah yang paling didengar oleh Allah untuk kita ketika kita telah meninggal dunia ???
Banyak kita orangtua merasa telah bersungguh-sungguh berjuang untuk anaknya. Padahal yang terjadi adalah kita paksa anak-anak kita untuk meniru kita, dengan bekal seperti bekal kita, padahal ia diciptakan bukan menghadapi zaman kita. Ia diciptakan untuk meghadapi zamannya sendiri yang berbeda.
Kata Ali bin Abi Thalib RA , “Jangan paksakan anakmu untuk menjadi seperti kamu, karena dia diciptakan bukan untuk zaman kamu.”
Nasihat Ali bin Abi Thalib ini mengingatkan kita untuk lebih memperhatikan hal-hal yang mendasar bagi jiwa anak, bagi akidah anak, bukan sibuk dengan keterampilan apa yang harus ia miliki, kehebatan apa yang garus ia raih, dan pekerjaan apa yang mesti ia impikan.
Tidaklah disebut gagal jika bapaknya seorang yang sangat cemerlang kariernya di bidang teknologi, sementara anak-anaknya lebih menyukai ilmu sosial, sepanjang anak-anak itu mengerti tujuan hidupnya dan memiliki komitmen yang kuat pada agama.
Kegagalan adalah ketika mereka dapat melebihi kehebatan orangtuanya, tetapi jiwa mereka gersang dan hati mereka rapuh, sementara iman hampir-hampir tidak dapat ditemukan bekasnya.
Hari-hari ini, ketika kita lebih banyak mengasah kedahsyatan otak mereka tetapi lupa mengidupkan hatinya, marilah kita merenung sejenak tentang anak-anak yang kehilangan arah.
Tengoklah sejenak anak-anak yang menghabiskan waktunya untuk berkelahi di jalanan, atau tenggelam di tengah hiruk-pikuknya kehidupan yang memuja syahwat. Tengok pula anak-anak yang matanya cekung bukan karena kurang gizi, dan badanya kurus bukan karena kurang makan, melainkan karena tersedot oleh obat-obat terlarang. Cobalah untuk sejenak menjwab dengan jujur, siapkah mereka? Maka kita akan tahu sebuah kenyataan yang amat getir. Kenyataan bahwa banyak di antara mereka adalah anak-anak kaum Muslimin yang terdidik.
Pendidikan Ala Nabi yang menitikberatkan aplikasi Qur’an adalah solusi membangun Generasi di LINTAS ZAMAN, mari bersama kita mewujudkan dan memperjuangkannya.