Dari berbagai penelitian, kita bisa belajar bahwa kecerdasan otak dan kekuatan bakat tak cukup kuat untuk mengokohkan jiwa anak dan menghidupkan hati mereka. Anak-anak yang sangat cerdas, terbiasa dijejali pengetahuan tanpa dibangun empati dan komitmen hidup yang kokoh, justru lebih mudah mengalami stress. Anak-anak yang memiliki otak cemerlang tapi kurang tertata tujuan hidupnya, tidak terbiasa mengadapi tantangan, kurang memperoleh kasih sayang serta tidak terbina keyakinannya (akidah,regiousbelief), justru sangat rentan frustasi. Mereka rawan terkena depresi dan keputusasaan. Mereka kurang mampu mengadapi tantangan sosial yang ada di sekelilingnya.
Perubahan-perubahan yang cepat juga turut berperan untuk menimbulkan keguncangan pada anak-anak kita. Perubahan itu bisa bersumber pada diri mereka sendiri, bisa bersumber dari lingkungan sekeliling. Perubahan pada diri anak bersebab pada perkembangannya, misalnya ketika memasuki masa ‘aqil-baligh. Mereka bisa mengalami keguncangan (storm and stress-begitu teori-teori lama mengatakan). Mereka bisa kebingungan, sibuk mencari identitas diri, lalu terombang-ambing dan mudah terpengaruh.
Tetapi, berkaca pada sejarah, masa-masa ini bisa menjadi masa bangkitnya kecemerlangan seseorang. Mereka mencapai kehebatannya yang menkjubkan pada usia-usia remaja. Imam Syafi’I sudah memiliki otoritas mengeluarkan fatwa ketika usianaya baru 16 tahun. Sementara Usamah bin Zaid ditunjuk oleh Nabi Saw sebagai panglima perang, juga ketika usianya baru menginjak belasan tahun.
Mereka mencapai kehebatan yang menakjubkan bukan karena pendidikan yang diterima secara terus-menerus dengan mengasah otaknya dan menajamkan argumentasinya. Mereka mancapi kehebatann justru karena kuatnya “ruh” dalam diri mereka sebuah penggerak sangat kuat yang berasal dari keyakinan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Hidangkan indah dan nikmatnya Al-Qur’an setiap hari kepada anak-anak kita, dijamin Ruhiyah anak kita akan sangat kokoh.