Apa yang sering kita lihat ketika sebuah acara silaturrahim ? ya ada sebuah tradisi ‘ tata krama ‘ salah satunya adalah kegiatan bersalaman hingga cium tangan terlihat di sana-sini. Istri mencium tangan suami, anak mencium tangan orangtua, menantu mencium tangan mertua, murid mencium tangan guru, bawahan mencium tangan atasan, karyawan mencium tangan majikan, si miskin mencium tangan si kaya, dan seterusnya. Tapi kegiatan mencium tangan yang berlangsung tersebut dalam pola yang sama dan nyaris kaku. Maksudnya, yang lebih muda usianya, yang lebih rendah statusnya, yang lebih lemah posisinya adalah pihak yang mencium tangan.
Jangan berharap kita melihat kebalikan dari hal itu terjadi, semisal ayah mencium tangan anak, suami mencium tangan istri, majikan mencium tangan bawahan, atau raja mencium tangan rakyat jelata. Mencium tangan telanjur dianggap mewakili gengsi, status, hingga harga diri.
Lain halnya dengan Nabi Muhammad SAW, manusia paling mulia utusan Allah, justru mencium tangan dua manusia biasa. Tapi tangan-tangan itulah yang dimuliakan Allah, sekaligus tangan-tangan itu pula yang membawa pemiliknya menuju surga.
Seorang pria jelata mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. “Wahai Rasulullah, lihatlah tanganku sudah bengkak, retak-retak dan hancur !” Lelaki itu bekerja teramat keras demi memenuhi nafkah anak istrinya. Dia bekerja memecah batu di tengah teriknya matahari gurun pasir. Jangan heran jika tangannya menghitam, retak-retak, dan sangat kasar. Nasib telah mengantarkan PEJUANG KELUARGA itu kepada kondisi yang memprihatinkan.
Rasul terharu mendengarnya. Lantas Nabi Muhammad SAW meraih tangan yang retak menghitam dan berdarah itu lalu menciumnya dengan sepenuh kasih sembari berkata, “Tanganmu inilah yang akan mengantarmu menuju surga.”
Di lain pihak, Fatimah menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh perjuangan. Putri bungsu kesayangan Nabi Muhammad SAW itu dipersunting oleh Ali bin Abi Thalib yang saleh yang berpengetahuan luas lagi gagah berani, tetapi sangat miskin secara materi. Sejarah mencatat kegemilangan Ali di setiap pertempuran membela kaum muslimin, sekaligus mengibarkan kejayaan Islam. Kesibukan membela agama Allah membuatnya mempunyai sedikit waktu untuk mencari nafkah bagi keluarga. jadilah rumah tangganya hidup di bawah garis kemiskinan.
FATIMAH Putri Rosulullah SAW yang diperistri Ali bin Abi Thalib, tak kalah berat perjuangannya dalam merawat keluarga. Dia harus mencari dan membelah kayu bakar, menimba dan memanggul air, menggiling gandum, membuat roti, memasak, dan mengerjakan segala urusan dapur seorang diri. Di samping itu, dia juga mengasuh dan mendidik dua putranya yang lincah, Hasan dan Husein. Kalau tidak sedang sibuk di medan perang, Ali bin Abi Thalib turut membantu menggiling gandum dan pekerjaan kasar lainnya, tapi itu sangat jarang terjadi karena negaranya terlalu sering terancam oleh pihak-pihak lawan.
Gadis yang dulu menjadi idaman banyak pemuda terhormat itu sampai pada kondisi menyedihkan. Fatimah menemui ayahnya sembari berkata, “Lihatlah tanganku ini Ayah, Sudah kasar dan retak-retak..”
Pekerjaan rumah tangga yang berat di kondisi lingkungan yang berat pula membuat tangan lembutnya berubah seperti tangan kuli. Fatimah hanya meminta agar ayahnya memberikan seorang pembantu supaya pekerjaan rumahnya menjadi lebih ringan.
Andai kita adalah ayah kandung Fatimah, tanpa pikir panjang kita pasti segera menyiapkan pembantu buat sang anak. Bahkan, sebagian ayah akan memarahi suami putrinya yang dipandang keterlaluan. Namun, Rasulullah SAW tidak melakukan hal demikian. Nabi Muhammad SAW tidak memberikan pembantu untuk putrinya, walaupun mampu menyediakannya.
Rasulullah meraih tangan Fatimah yang sudah kasar dan retak-retak, lalu menciumnya sepenuh kasih seraya berkata, “lnilah tangan yang akan mengantarmu menuju surga, anakku .” Rasulullah tidak ingin memanjakan putrinya sehingga dia menjadi wanita yang berjiwa lemah.
Kepada kedua pemilik tangan yang hebat itu, Rasulullah menyuntikkan semangat juang, nasihat yang menguatkan, dan penghargaan. Merekalah orang-orang bahagia karena tangannya menghasilkan pahala dan tiket menuju Sorga.
Dalam hidup, kita melihat jutaan tangan terluka demi mencari sesuap nasi. Tangan-tangan itu dapat ditemukan pada sosok di rumah kita sendiri; pembantu kita yang tak kenal lelah menyiapkan yang terbaik untuk kita majikannya. Tangan-tangan itu juga dapat dilihat di kantor atau perusahaan kita sendiri; para karyawan kita yang tetap bekerja keras dalam kondisi amat terbatas. Tangan-tangan itu dapat ditemukan di mana saja, tapi keberadaannya sering kita abaikan atau mungkin tangan-tangan itulah yang sering kita sakiti.
Setiap amal perbuatan kita pasti akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak. Nah, boleh saja tangan kita dicium orang atas alasan menghormati, namun kelak kita harus bertanggungjawab kepada Allah SWT, betulkah tangan kita benar-benar tangan mulia yang selalu melakukan kebaikan? Apakah tangan kita yang dicium ini betul-betul berjuang di jalan Allah? Jangan-jangan orang-orang itu terpaksa mencium tangan kita, atau justru tangan mereka yang sebetulnya lebih mulia dan lebih pantas kita cium?
Boleh saja kita mencium tangan orang lain, karena itu toh juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi, apakah alasan kita mencium tangan itu sudah selaraskah dengan alasan Rasulullah SAW. Apakah tangan orang yang kita cium itu benar-benar tangan yang berjuang di jalan Allah? Betulkah tangannya setia membela kebenaran? Apakah tangan itu tangan seseorang yang berbudi pekerti mulia?
Jangan-jangan kita mencium tangan orang yang sombong, yang perangainya dibenci Allah. Sehingga saat kita mencium tangannya, kesombongannya bertambah dan dia semakin lupa. Kita pun mencium tangannya bukan karena menghormati, tapi karena takut kehilangan pekerjaan atau jabatan atau yang lainnya. Kita tidak melakukannya dengan tulus.
Mengapa tangan orang-orang zalim kita cium dengan sangat hormat, sedangkan tangan orang baik kita abaikan? Mengapa kita justru memuliakan tangan-tangan yang selama ini menebar angkara murka?
Inilah kesempatan bagi kita untuk mengevaluasi diri. Tanyakan kepada diri kita, sudah pantaskah kita dihormati? Atau sudah tepatkah penghormatan yang kita lakukan? Tidak seperti menebar penghormatan palsu, kita akan merasakan kebahagiaan jika menghormati orang-orang yang tangannya setia menebar kebaikan, apa pun statusnya.
Ya, Kebahagiaan sejati diperoleh dengan pengorbanan dan memuliakan orang yang berjuang di jalan kebenaran. Kebahagiaan tidak akan diperoleh dengan merendahkan martabat diri di hadapan orang zalim.
“Apabila ada orang memberikan penghormatan kepada kamu, hendaklah kamu jawab penghormatannya dengan yang lebih baik atau kamu jawab penghormatannya itu (dengan yang sama). Sesungguhnya Allah menghitung segala sesuatu.” (An Nisa’ 86)