Matanya ke sana ke mari, entah mencari apa. Dari wajah dan pakaianya yang lusuh tampaknya ibu ini barusan berpergian yang jauh. Apalagi ia membawa tas pakaian yang reslitingnya sudah rusak, sehingga pakaian yang ia bawa tampak dari luar. Aku kuatir ia akan ditipu oleh para calo yang ada di terminal Joyoboyo ini, karena biasanya wajah yang binggung seperti ibu ini akan mudah sekali menjadi korban calo terminal. "Ibu mau kemana?" tanyaku. "Saya mau ke Kupang", jawabnya lirih. Jarak Kupang (sebuah daerah di Surabaya) dari terminal Joyoboyo tidaklah terlalu jauh kurang lebih 5 kilometer. "Ibu tahu lyn (angkutan kota) ke Kupang?" tanyaku lagi. "Tahu, Mas", jawabnya dengan tatapan sayu. "Baiklah Ibu, saya duluan", aku berpamitan meninggalkan ibu tersebut.
Kebetulan kali ini aku lagi bersama dua teman tengah berjalan kaki dari Gedung Jatim Expo menuju ke kantor di jalan Bogowonto, dan jalur yang aku tempuh ini searah dengan jalur menuju Kupang. Ketika tanpa sengaja aku menoleh ke belakang, ternyata ibu tersebut juga berjalan kaki kurang lebih lima puluh meter di belakangku, padahal katanya tadi akan naik angkutan ke Kupang. Beberapa kali aku menoleh, dan ternyata ia masih di belakangku. Pasti ada masalah ibu ini pikirku. Ketika tepat di depan patung Suro dan Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya aku menghentikan langkah sambil menjelaskan kepada teman yang berasal dari Makassar arti historis dari patung tersebut yang menjadi awal mula dari nama kota Surabaya. Sebenarnya aku berhenti ini sambil memperhatikan ibu ini, ternyata ia melewatiku begitu saja, berarti dia tidak ada maksud apapun kepadaku, maka aku segera kembali berjalan di belakangnya.
"Ibu katanya mau naik lyn ke Kupang, tapi kok jalan", tanyaku. "Ya ...", jawabnya lirih mungkin karena kecapaian dalam perjalanan. "Tapi mengapa Ibu masih jalan kaki?" tanyaku. "Saya tidak punya uang", jawabnya dengan lebih lirih mungkin karena malu mengatakannya. "Rumah Ibu dimana?" tanyaku untuk mempertegas apakah ibu ini berbohong atau tidak. "Di Banyu Urip", jawabnya. "Banyu Urip mana?" tanyaku lagi. "Banyu Urip gang Bok Abang", jawabnya lagi. Berarti ia akan naik angkutan 2 kali dari sini. Segera aku sodorkan uang lima ribu rupiah, "Ini Ibu untuk naik lyn", ucapku. Seketika itu wajahnya berubah sangat luar biasa menjadi cerah dan bibirnya tersenyum, "Terima kasih, Mas", ucapnya spontan sambil menerima uang. Segera ia melambaikan tangan untuk menghentikan angkutan, dan segera ia naik angkutan yang menuju Kupang.
Kejadian tersebut sangat cepat tiba-tiba ia sudah naik angkutan, dan angkutan sudah berjalan meninggalkan aku yang masih terdiam. Mungkin ia sudah sangat ingin bertemu keluarganya, tapi dalam hatiku ada rasa sesal yang dalam. Maksudku menyodorkan uang lima ribu rupiah tadi untuk mengetahui apakah ia berbohong atau tidak, sebab biasanya jika berbohong responnya akan masih seperti kekurangan atau minta tambah. Tapi ternyata Ibu tadi tidak berbohong, sehingga uang lima ribu yang aku berikan sudah sangat berharga dan berarti baginya.
Astaghfirullah, seandainya saya tadi bisa menambah lebih banyak lagi, tentunya tidak hanya untuk biaya naik angkutan saja yang bisa ia bayar, mungkin ia bisa membelikan roti sisir yang harga hanya dua ribu lima ratus rupiah saja untuk anak-anaknya yang menunggunya di rumah. Jika lima ribu rupiah yang pertama bisa membuat ia bahagia karena dapat naik angkutan untuk pulang, dan dengan tambahan yang lebih akan membuat anak-anaknya bergembira menyambutnya, berarti akan semakin banyak wajah yang kembali tersenyum. Tapi mengapa tadi aku ragu memberikan tambahan lima ribu lagi?
Sahabat, penyesalan seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, seperti kisah dibawah ini :
Seperti biasa ketika hari Jum’at tiba para kaum lelaki berbondong-bondong menunaikan ibadah Sholat Jum’at ke Masjid, ketika itu ada seorang Sahabat sedang bergegas menuju ke Masjid di tengah jalan berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntunnya, lalu sahabat ini dengan sabar dan penuh kasih membimbingnya hingga tiba di masjid. Pada hari yang lain ketika waktu menjelang Shubuh dengan cuaca yang amat dingin, Sahabat tersebut hendak menunaikan Jama’ah Sholat Shubuh ke Masjid, tiba-tiba ditengah jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan, kebetulan Sahabat tadi membawa dua buah mantel, maka ia mencopot mantelnya yang lama untuk diberikan kepada lelaki tua tersebut dan mantelnya yang baru ia pakai
Pernah juga pada suatu ketika Sahabat tersebut pulang ke rumah dalam keadaan sangat lapar, kemudian sang istri menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging, namun tiba-tiba ketika hendak memakan roti yang sudah siap santap untuk dimakan tadi datanglah seorang musafir yang sedang kelaparan mengetuk pintu meminta makan, akhirnya roti yang hendak beliau makan tersebut dipotong menjadi dua, yang sepotong diberikan kepada musafir dan yang sepotong lagi beliau memakannya. Maka ketika Sahabat tersebut wafat, Rosulullah Muhammad SAW datang, seperti yang telah biasa dilakukan beliau ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rosulullah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rosulullah berkata,” Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?”
Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal” “Apa yang di katakannya?” “saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum wafat, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong."
“Bagaimana bunyinya?” desak Rosulullah.
Istri yang setia itu menjawab, “suami saya mengatakan “Andaikata lebih panjang lagi……andaikata yang masih baru..…. andaikata semuanya…….”
hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?”
Rosulullah tersenyum.”sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,”ujarnya.
Jadi begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum’at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun.
Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan betapa luar biasanya pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata “andaikan lebih panjang lagi”. Maksud suamimu, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya lebih besar lagi.
Ucapan lainnya ya Rosulullah?” tanya sang istri mulai tertarik.
Nabi menjawab,”adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan.
Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya.
Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, “Coba andaikan yang masih baru yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi”.Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?” tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,”ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan meminta makanan.
Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musyafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ‘ kalau aku tahu begini hasilnya, musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab ANDAIKATA SEMUANYA KUBERIKAN KEPADANYA, sudah pasti ganjaranku akan berlipat gandaSahabat, jangan sampai penyesalan seperti ini terjadi ketika masa bakti kita tinggal sejenak di dunia fana ini, mumpung masih banyak yang menawarkan peluang beramal shaleh, kenapa tidak kita segerakan dan kita istiqomahkan…
“ Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh" [al-Munâfiqûn 63:10].