close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Wednesday, 8 April 2015

Ma'af, Boleh Numpang Sholat



Terkadang untuk menyampaikan sebuah kebenaran tidak perlu ceramah dan retorika. Tutur kata yang santun dan perilaku mengesankan dapat membuat seseorang simpati lalu jatuh hati.

Ubaid adalah seorang pegawai. Belasan tahun sudah Ia bekerja di sebuah bank swasta. Orangnya jujur, rajin dan taat beribadah. Agama baginya bukan hanya di masjid dan dinikmati sendiri. Namun agama menurutnya adalah dakwah, berbagi dengan sesama sehingga nilai dan sinarnya dapat dirasakan oleh orang lain.

Ubaid beruntung karena mendapatkan fasilitas KPR dari kantornya. Dua minggu sudah ia mencari-cari rumah yang sesuai dengan plafond kantor dan sesuai pula dengan keinginannya. Allah Swt. menunjukkan rumah yang sesuai untuknya di sebuah bilangan di Ciputat - Tangerang Cirendeu tepatnya.
Ubaid menceritakan kepada istrinya rumah yang baru saja dilihat. Sore itu Ubaid berjanji untuk mengajak istrinya untuk melihatnya sekaligus meminta persetujuan atas rumah yang dimaksud.

Setengah enam sore, Ubaid dan istri berangkat dari rumah menuju Cirendeu. Baru separuh jalan, terdengarlah kumandang azan Magrib. Mendengarnya, Ubaid berujar kepada istrinya. “Shalat Magrib kita numpang saja ya di rumah yang mau kita lihat!” Istrinya pun mengiyakan usul Ubaid.

Ubaid dan istri sampai di rumah itu. Pemilik rumah menyambut mereka dengan seulas senyum. Mereka dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Dalam pembicaraan yang mereka lakukan, Ubaid dan istri mengetahui bahwa ibu pemilik rumah adalah seorang janda usia 50 tahun lebih beranak dua.
“Berapa Bu rumah ini mau dijual?” Tanya istri Ubaid kepada pemilik rumah.
“Saya mau lepas dengan harga 300 juta,” sahut pemilik rumah.
“Gak bisa kurang?” Tandas istri Ubaid.

“Itu juga sudah murah... Kemarin ada yang tawar 260 juta saya gak kasih,” jawab pemilik rumah.
Mendengar itu Ubaid dan istri menjadi paham bahwa harga yang diinginkan pemilik rumah, namun plafond  dari kantor untuk Ubaid hanya Rp. 250 juta. Ubaid dan istri saling berpandangan. Budget mereka tidak sesuai dengan harga rumah yang diinginkan.
Ubaid melirik jam di pergelangan tangannya. Masya Allah! Waktu Isya sebentar lagi tiba, padahal Ubaid dan istri belum shalat Magrib...

Ubaid lalu berkata kepada pemilik rumah, “Ibu, boleh kami numpang shalat di sini?”
Mendengar kalimat itu rona wajah pemilik rumah berubah drastis. Tampak kebingungan dan sedikit tegang. Ubaid merasakan hal itu, ia pun meralat kalimatnya, “Kalo gak boleh shalat di sini, masjid yang terdekat di mana ya?”
Kalimat ini pun menambah kekikukan bagi pemilik rumah, dan ia pun menyergah, “Masjid jauh dari sini!!!”
Ubaid pun menjadi bingung atas sikap dan jawaban dan pemilik rumah. Dalam hati ia menduga kalau-kalau pemilik rumah bukan seorang muslimah. Namun Ubaid dan istrinya harus segera shalat Magrib, ia pun berujar, “Kalo gak boleh shalat di dalam rumah, bolehkah kami shalat di teras?”

Merasa terdesak, pemilik rumah akhirnya mengizinkan. Maka jadilah Ubaid dan istrinya shalat Magrib di teras rumah. Tanpa alas apa pun sebagai sejadah mereka.

Usai shalat, Ubaid dan istri melanjutkan pembicaraan dengan pemilik rumah. Tidak berlangsung lama, mereka pun berpamitan. Sayang malam itu tidak ada angka yang disetujui oleh mereka, baik oleh Ubaid dan istri ataupun dari pemilik rumah. Masing-masing bertahan dengan harga dan uang yang mereka mau.
Malam itu akhirnya gak ada angka yang pas pemilik rumah maunya 300 juta, padahal Ubaid hanya boleh ngambil KPR maksimal Rp. 250 juta

Namun keanehan luar biasa terjadi. Keesokan paginya, ibu pemilik rumah menelepon ke HP Ubaid, Ubaid bercerita bahwa pemilik rumah itu bertanya lewat pembicaraan telepon pagi-pagi sekali, “Pak Ubaid, saya nelepon cuma mau tanya, apakah setiap rumah yang hendak bapak beli harus disembahyangkan dulu?!”

dahi Ubaid sempat berkernyit, dan bertanya-tanya dalam hati “Maksudnya apa, ya ?”

“ maaf, bukan begitu ibu, saat itu kami berdua belum shalat Magrib padahal waktu Isya sudah hampir masuk, jadi apa yang kami lakukan adalah sebuah kewajiban bukannya untuk menentukan rumah itu cocok atau tidak!” Ubaid menjelaskan kalimat yang ia sampaikan kepada ibu pemilik rumah.

“Tapi Pak, entah kenapa usai Bapak dan istri pulang saya kok merasa cocok dan menjadi tenang hati saya, makanya pagi-pagi ini saya langsung menelepon ke HP Bapak,” ujar Ubaid menceritakan

Lebih panjang Ubaid bercerita bahwa ibu itu mengaku sudah hampir 30 tahun tidak pernah shalat sejak ditinggal oleh suaminya dan harus membesarkan kedua anaknya. Hidupnya panik dan sulit. Ia harus bekerja dan mencari nafkah. Duit dan duit yang ada dalam kepalanya, dia lupa sama sekali untuk menyembah Allah.
“Sekarang, ibu itu tidak kurang 3 kali dalam seminggu pasti menelepon atau berkunjung ke rumah saya. Dia mau belajar menjadi muslimah lagi katanya,” Ubaid menjelaskan

“Rumah itu sudah kami beli darinya. Harganya pun amat menakjubkan! Jauh dari dugaan kami semula. Kami membelinya dengan harga Rp. 220 juta saja!!!” Tambah Ubaid.
“Lebih hebatnya lagi, sampai sekarang rumah itu baru separuh kami bayar. Bukan karena keinginan kami, tapi keinginan ibu itu!!!” Tegas Ubaid.
“Kok bisa begitu?”

“Dia bilang bayar saja sisanya kalau saya sudah merasa puas belajar ibadah kepada Pak Ubaid dan keluarga!” Ubaid menutup kalimatnya sambil tersenyum.

Subhanallah, kisah ini begitu berarti buat kita yang mendengarnya. Terkadang bila ibadah sudah mewujud dalam bentuk indahnya akhlak seseorang, maka simpati dari sesama akan terbit dan menyinari kehidupan yang kita jalani. Ternyata, semuanya menjadi makin indah dengan ibadah!!!

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji (kejahatan) dan munkar (anarkis)(QS.AL-Ankabut:45 ).