close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Thursday, 14 May 2015

Bunda, Mandikan Aku Ya



Rani, sebut saja begitu namanya, Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. “Why not the best :, katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.


Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya dan Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani juga mendapat pendamping yang selevel,  sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.


Alifya, buah hati cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah “ alif “ dan huruf terakhir  “ya’ “, jadilah nama yang enak
didengar : Alifya, Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.


Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya saya pernah bertanya,  “Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? “, Dengan sigap Rani menjawab, “ Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK! “,  Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.


Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
“ Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti “, Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.


Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini
‘memahami ’ orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali  ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria.
Maka, Rani menyapanya “ malaikat kecilku “.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.


Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. “ Alif ingin Bunda yang mandikan “, ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.


Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan, “ Bunda, mandikan aku ya, Bun ! “,  kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.


Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter Rani . “ Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang, Sekarang di Emergency “. Setengah terbang, saya ngebut ke UGD, But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.


Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya
sendiri. Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. “Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif “, ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.


Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, “ Ini sudah takdir, ya kan, Sama saja, aku di sebelahnya
ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga  kan? “,  Saya diam saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong,  “ Ini konsekuensi sebuah pilihan”,  lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.


Hening sejenak, Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja, seolah aku merasakan dada Rani bergolak, Tiba-tiba Rani berlutut, “ tapi…..Aku ibunyaaaa…..! “ serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. “ Bangunlah nak Alif, ini Bunda, Bunda mau mandikan Alif, Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif…..”
Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan
Rani tertelungkup di atasnya, Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua, Ranipun belum mampu bergeming dari pusara Alif sang Malaikat Kecilnya, “ Astaghfirullaaaaah, ampuni aku yang zhalim ini ya Allah…

Allah SWT mengingatkan kita bahwa sejenius apapun kita jangan pernah berlagak di Muka Bumi ini dengan Sombong karena secanggih apapun kemampuan kita, kita tidak akan pernah mampu menembus Bumi ini dan tidak akan mampu menaiki  seluruh ‘tangga-tangga’ Langit.


Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai sekokoh gunung.” [Al Israa’ 37]


Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18].