Ramadhan tahun ini, Pak Yuda mendapat dua undangan acara berbuka puasa bersama. Pertama, undangan buka puasa bersama yang diselenggarakan bos pemilik kantor tempatnya bekerja. Undangan itu terpampang di papan pengumuman kantor. Sebagian pengumuman itu berisikan penegasan: HARAP HADIR, JANGAN KECEWAKAN BAPAK!
Melihat undangan yang bernada ancaman itu, Pak Yuda dan rekan-rekan yang lain sontak merasa waswas. Berarti kemungkinan akan ada absensi dan entah sanksi apa yang diterima jika tidak hadir. Bagaimana jika tiba-tiba ada halangan?
Rupanya si bos khawatir anak buahnya banyak yang tak datang sehingga dia menyelipkan penegasan tersebut. Dia bisa dipermalukan di hadapan para kolega bisnis yang juga diundang.
Undangan kedua datang dari pengurus RT tempat Pak Yuda bermukim. Sekretaris RT dengan sabar menunggu Pak Yuda selesai mandi sore, hanya untuk mengantarkan undangan buka bersama di lapangan bulutangkis RT.
“Apa Bapak punya waktu? Akan ada acara siraman rohani juga,” ungkap Sekretaris RT.
Sejenak Pak Yuda mencermati kertas undangan itu. “Acaranya bertepatan dengan acara saya di kantor. Begini sepertinya saya tak bisa menghadiri acara buka bersamanya. Namun, saya usahakan agar bisa hadir pada acara siraman rohani dan syukuran jam 21.00 WIB.”
Tibalah hari istimewa itu. Pak Yuda menghadiri acara berbuka bersama yang diadakan kantornya. Semua undangan duduk rapi di ruangan khusus sebuah restoran yang terkenal mahal. Semuanya tampak gembira, karena suka tidak suka mereka memang harus tampil ceria di depan bos. Kalau si bos berusaha melucu, yang sering kali justru tidak lucu, semua harus berpura-pura tertawa.
Lalu saat yang dinanti pun tiba, yaitu waktu berbuka dan makan malam. Namun, entah mengapa Pak Yuda merasakan menu yang disantapnya bagaikan pasir bercampur kerikil. Suasananya terasa Sangat kaku. Mereka buka bersama bukan demi kebahagiaan bersama, melainkan untuk kesenangan si bos belaka.
Apalagi isi sambutan dari bos dan nyonya hanya memuji-muji diri sendiri, membuat telinga hadirin gerah. Sebetulnya acara itu tidak berlangsung lama, tapi karena diselipi rasa keterpaksaan, terasa amat menyiksa.
Saat acara selesai pun seluruh karyawan wajib berbaris seperti anak TK yang antri makan siang. Satu per satu harus menyalami bos dan nyonya yang berdiri sombong dengan takzim.
Bukan hanya karyawan, tamu-tamu juga merasa direndahkan. Tapi kebutuhan atas proyek membuat mereka terpaksa menekan perasaan sendiri.
Dan sebagai penutup, nyonya bos dengan tanpa segan mengumumkan sekian juta rupiah yang dia habiskan untuk mengadakan jamuan buka puasa bersama itu. Lagi-lagi para karyawannya harus berpura-pura kagum.
Karena sudah tak nyaman dan ada janji untuk menghadiri buka bersama RT, Pak Yuda memacu sepeda motornya. Syukurlah dia masih sempat ikut Shalat Isya dan Tarawih. Dia lantas bergabung bersama warga, duduk bersila di tikar. Walaupun hanya beratapkan langit, mereka semua tersenyum, tertawa, dan saling bertegur sapa dengan ikhlas. Tidak ada tekanan apa pun, karena semuanya dilakukan tanpa paksaan.
Jangan tanya soal hidangannya. Cuma soto sederhana. Namun, suasana bahagia yang tercipta membuat masakan biasa terasa amat lezat. Pak Yuda bersyukur hari itu ada dua acara berbuka bersama sehingga peristiwa mengecewakan bisa ditutupi dengan acara yang membahagiakan.
Sahabat, Sifat sombong dan suka dipuji hanya merusak kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, sementara Keikhlasan akan menyejukkan jiwa dan menebarkan energi positif. Dan ternyata tidak selamanya Kemewahan itu menjamin kebahagiaan.