close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Friday, 24 June 2016

Macam-Macam Syukur


Sesungguhnya syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang diberikan akan membuat nikmat itu kian bertambah dan kekal. Firman-Nya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” | surah Ibrahim, 14: 7

Manusia tidak cukup bersyukur dengan lisan saja karena ucapan harus disertai dengan perbuatan. Menurut Syaikh Dr. Musthafa Dib al-Bugha, syukur yang diperintahkan ada yang wajib dan ada yang sunnah:

Pertama, Syukur yang wajib. Yakni menunaikan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Syukur semacam ini memadai sebagai bukti syukurnya atas nikmat sehat dan kesempurnaan anggota tubuh serta nikmat-nikmat yang lain.
Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud. Dari Abil Asud ad-Daili berkata: Kami berada di samping Abu Dzar dan dia berkata: “Pada tiap-tiap tulang persendian kalian terdapat hak sedekah setiap hari: baginya pada setiap shalat itu sedekah, puasa itu sedekah, haji sedekah, tasbih sedekah, dan juga takbir adalah sedekah.......”

Diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika dia tidak melakukan hendaklah dia menahan dirinya dari keburukan karena demikian itu termasuk juga sedekah.”

Hal ini menunjukan bahwa hamba sudah cukup untuk melaksanakan rasa syukur jika tidak berbuat suatu keburukan. Akan tetapi, cukuplah menjauhi keburukan jika sudah menegakkan apa yang difardhukan dan menjauhi suatu yang dilarang. Sesungguhnya keburukan paling besar adalah meninggalkan perintah wajib.

Oleh karena itu sebagian ulama salaf berkata, “Syukur adalah meninggalkan kemaksiatan.” Sebagian yang lain berkata, “Syukur adalah tidak menggunakan suatu nikmat di atas jalan kemaksiatan.”
Kedua, Syukur yang disunnahkan. Yakni seorang hamba telah melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan kemudian menambahnya dengan ibadah sunnah. Ini merupakan derajat orang-orang as-sabaqin al-muqarrabin (dahulu masuk surga dan berlomba-lomba mendekatkan diri) dalam mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah.

Sebagaimana diisyaratkan banyak hadits yang menganjurkan amal perbuatan dan berbagai macam ketaatan. Demikanlah Nabi ﷺ, di mana beliau bersungguh-sungguh dalam melaksanakan shalat malam dan mendirikannya sampai bengkak kedua tumitnya.

Manakala dikatakan kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan semua ini, bukankah engkau telah diampuni dosa dan kesalahan baik yang telah lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, “Bukankah aku sangat layak untuk menjadi hamba yang bersyukur?”