Dalam tradisi Arab Quraisy sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, ada kebiasaan menyusukan anak-anak mereka kepada para ibu pedalaman. Bukan tanpa sebab mereka melakukan hal itu, setidaknnya ada beberapa maksud.
Pertama, Agar mereka segera hamil dan memiliki anak lagi.
Banyaknya anak adalah sebuah kebanggaan bagi mereka. Sedangkan menyusui itu sudah diketahui sebagai kontrasepsi alami. Selama seorang ibu itu menyusui, maka memperkecil kemungkinan untuk bisa hamil lagi. Maka segera para ibu Quraisy itu melahirkan, mereka akan memberikan anaknya kepada para ibu pedalaman untuk disusukan.
Banyaknya anak adalah sebuah kebanggaan bagi mereka. Sedangkan menyusui itu sudah diketahui sebagai kontrasepsi alami. Selama seorang ibu itu menyusui, maka memperkecil kemungkinan untuk bisa hamil lagi. Maka segera para ibu Quraisy itu melahirkan, mereka akan memberikan anaknya kepada para ibu pedalaman untuk disusukan.
Kedua, karena kota Mekah pada saat itu adalah kota yang tidak sehat lingkungan sanitasinyanya.
Bayangkan keadaan kota Mekah pada bulan suci ketika banyaknya orang-orang yang datang untuk berziarah ke Ka’bah dan menyembah berhala-berhalanya. Sementara mereka sering menyembelih hewan persembahan untuk berhala, darahnya mereka tadah setelah mengguyurkan pada berhala, lalu mereka oleskan pada tubuh mereka untuk mendapatkan berkah.
Demikina pula daging-daging hewan yang dibiarkan teronggok yang dipersembahkan untuk berhala-berhala itu. Kita bisa bayangkan betapa buruknya lingkungan kota Mekkah saat itu dengan penyakit yang ditimbulkan. Maka anak-anak kecil lebih sehat ketika merek tinggal di dusun-dusun pedalaman yang udaranya bersih dan murni.
Ketiga, ketika menitipkan anak-anak mereka kepada para ibu pedalaman, maka akan terjaga fitrah kebaikan mereka. Dari mulai bahasa, kepribadian dan tata cara hidup yang lebih baik.
Karena banyaknya orang yang berdatangan ke kota Mekkah, maka menjadi lazim akan terjadi kontak budaya yang dapat merubah yang baik menjadi buruk. Dari bahasa mereka akan tercampur menjadi bahasa yanga “pasaran”, tidak lagi murni. Dikhawatirkan anak-anak menjadi rusak bahasanya ketika mereka berada di kota Mekkah saat itu. Dari perilaku, mereka akan terpapar perilaku buruk yang dibawa oleh para pendatang itu.
Ini sama dengan anak-anak kita yang tinggal di kota Metropolitan seperti di Jakarta, coba perhatikan perubahan mereka dari mulai bahasa dan lain sebagainya.
Betapa tak menangis hati orang tua, ketika buah hatinya hancur karena lingkungan yang buruk. Betapa tak hancur hati orang tua, sedangkan tiap saat berdoa kiranya Allah mengarunikan bagi mereka anak yang sholeh, lalu kemudian rusak karena lingkungan yang rusak. Betapa tak hancur hati orang tua, ketika orang tua melihat anak melontarkan kata-kata kotor. Hanya kepada Allah tempat orang tua mengadu.
Jagalah fitrah kebaikan dari anak-anak kita dengan memberikan pelayanan super maksimum karena mereka adalah tumpuan harapan kita. Ketika saatnya dewasa nanti, mereka menjadi anak-anak yang sholeh, mereka mendoakan kita.
Terakhir, ada hadits dari Rasulullah SAW tentang “protes” orang tua kepada Allah karena ketika di Surga-Nya, orang tua ini terkaget-kaget ketika siang belum menjelang mereka telah berada di Surga yang derajatnya lebih tinggi. Sesaat sore belum beranjak, mereka kembali terkeget-kaget kerana telah berada di Surga yang lebih tinggi lagi derajatnya dan seterusnya-seterusnya.
Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Agung mengangkat derajat seorang hamba shaleh di dalam surga (ke tempat yang lebih tinggi). Kemudian hamba shaleh itu bertanya: “Tuhanku, darimana saya mendapatkan (kemuliaan) ini?” Allah berfirman: “Ini berkat permohonan ampunan anakmu untukmu”. (HR. Ahmad, Thabrani, Baihaqi).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya.” (riwaya Imam Muslim).