Delapan belas tahun lalu adalah hari terberat yang pernah ada dalam hidup Anjali. Seorang anak gadis yang hidup dalam kemiskinan, tinggal di bantaran kali dengan rumah terbuat dari kardus harus rela melepaskan kepergian sang Ibu tercinta. Ia sangat mencintai Ibunya lebih dari apa pun, tak pernah sepatah kata pun ia membantah perintah Ibunya, baginya Ibu adalah jantung kehidupannya. Ibunya pun sangat mencintai nya lebih dari apa pun, terbukti dengan bagaimana Ibu Anjali berusaha, bekerja siang malam mengelilingi kota memulung sampah, botol, dan kardus-kardus bekas yang akan di jual demi sesuap nasi dan menyekolahkan Anjali. Anjali merasa sangat berdosa besar jika harus melawan orang tua apalagi menyakiti hati Ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan segala keterbatasan. Karena itu Ia berjanji pada dirinya tidakan pernah sedikit pun berani melawan dan menyakiti Ibunya yang sudah tua dan bungkuk.
Anjali tidak pernah malu jika sang Ibu mengantarnya ke sekolah dengan pakaian lusuh, kusut dan penuh tambalan, bahkan dengan penuh kebanggaan terlihat dari wajahnya karena ia masih memiliki seorang Ibu yang sangat mencintainya sejak ia menghirup udara dunia, walau Ayahnya telah pergi meninggalkannya ketika ia masih berumur dua tahun akibat kecelakaan. Demi membahagiakan Ibunya ia belajar sungguh-sungguh, ia pun selalu menjadi juara kelas bahkan sesekali juara umum. Baginya mungkin hanya dengan prestasi sekolah yang bisa membahagiakan Ibunya, hanya itu yang bisa ia berikan kepada sang Ibu, karena dengan itu juga ia sedikit mendapat keringanan dalam biaya sekolah. Kadang jika Ibunya sakit ia pergi keliling kota, memulung mencari botol dan kardus bekas di tempat pembuangan sampah, bahkan tak jarang ia terjerembab ke dalam tumpukan sampah karena tubuhnya SD nya yang masih kecil.
Sehabis sekolah menjaga sebuah toko sebagai uang tambahan membeli buku sekolah atau buku yang sangat ia inginkan. Baginya dengan berusaha dan bekerja keraslah keinginannya akan terwujud. Ia sangat beruntung memiliki orang tua yang peduli akan pendidikan anaknya, ia kadang sering menangis sendiri dalam malam gelap gulita sebelum azan subuh, ia selalu terpikirkan dengan anak-anak yang senasib dengannya yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan namun hanya ia yang mampu sekolah. Ia pun kadang menyempatkan waktu mengajarkan kawan-kawan sekitar rumahnya pelajaran matematika tanpa dibayar sesen pun, dengan begitu ilmunya semakin melekat, berkah dan bermanfaat. Semua pernak-pernik hidupnya berjalan seperti biasa hingga suatu yang paling ia takutkan menimpanya.
Ya, sesuatu yang sangat ia takutkan adalah kehilangan satu-satunya orang tua yang sangat ia cintai, yang sangat ia sayangi. Baginya musibah terbesar dalam hidupnya adalah harus kehilangan Ibu di usianya yang masih muda, di saat ia akan menamatkan SD. Ia ingin sekali ibunya melihat ia menjadi siswa terbaik se-provinsi dengan nilai yang tinggi dan masuk sekolah menengah pertama favorit di Jakarta, karena pemda Jakarta memberikan bea siswa penuh bagi 10 orang yang mampu mendapat nilai penuh dalam UN, yaitu semua nilai 10. Dan itu tinggal menunggu beberapa hari lagi setelah pengumuman kelulusan Sekolah Dasar. Namun takdir berkata lain, seakan-akan menantang harapan serta keinginannya itu, yang bahkan berusaha menyurutkan dan menghancurkan semangat gadis kecil itu untuk sekolah dan melanjutkan ke SMP favorit. Karena satu-satunya alasan semala ini ia belajar sungguh-sungguh hanyalah untuk menyenangkan hati Ibunya sebagai balasan atas jasa-jasa Ibunya yang membanting tulang, berpeluh keringat, terbakar terik siang dan bungkuk akibat memulung dan membawa barang berat.
Ibunya meninggal bukanlah karena kecelakaan, serangan jantung atau kelaparan. Ibunya ternyata selama ini menyimpan rahasia pada Anjali. Ibunya selama ini menderita penyakit kanker serviks (kanker rahim) yang harapan untuk dapat disembuhkan sangat kecil bahkan bisa dikatakan mustahil karena 98% penderita penyakit ini berakhir dengan kematian. Ia mengetahui itu dari pembicaraan rahasia Ibu-ibu tetangganya bahwa Ibunya terkena penyakit kanker ketika ada tes kesehatan pos kesehatan keliling dari pemda Jakarta. Ia terpukul karena rumah sakit di daerahnya belum memiliki pengobatan yang canggih untuk mengobati penyakit yang mamatikan ini, walau pun sebenarnya bisa dikirim ke rumah sakit yang lebih besar jika ada uang. Dan lebih terpukul lagi karena ia sadar, ia bukanlah orang kaya yang bisa membayar segala macam pengobatan, ia juga sadar apalah arti nyawa seorang pemulung di mata para dokter dan pemerintah, hanya menghabiskan tenaga dan waktu serta uang pemerintah.
Gadis kecil ini menangis sejadi-jadinya di tengah malam setelah Ibunya dikuburkan di pemakaman orang-orang miskin yang sekedarnya. Ia limpahkan semua isi hati dan pikirannya pada Ilahi. Ia yang dulunya belajar dan sekolah semata untuk membahagiakan Ibunya, kini berubah akan belajar dan bekerja mati-matian demi meraih cita-citanya, yaitu menjadi seorang dokter oncologi, dokter ahli special kanker. Apa pun yang terjadi dia akan berusaha mati-matian demi menjadi dokter spesialis kanker yang akan menyembuhkan seluruh macam penyakit kanker dengan segala kemungkinan yang ada. Dan tidak hanya itu, ia pun berjanji akan menolong sukarela siapa pun orang yang terkena penyakit kanker, apakah mereka orang kaya atau miskin.
Janji-janji yang ia buat, yang ia sampaikan di tengah malam pada Tuhan pada umur 12 tahun kini terpenuhi. Anjali dulu gadis kecil yang miskin dan kumuh kini sudah menjadi gadis dewasa yang cantik, baik dan kaya raya namun sederhana. Ia telah mewujudkan cita-citanya atas izin Tuhan melewati ujian-ujian besar dalam hidupnya. Baginya pendidikan tidak hanya diperuntukkan orang kaya, siapa pun boleh bercita-cita. Di umurnya yang masih muda (27) Ia menjadi dokter spesialis kanker ternama di rumah sakit terbesar di Jakarta dan menjadi dosen tetap di Universitas terkenal di jakarta. Ia membangun yayasan sosial untuk anak-anak miskin dann terlantar. Dengan kerendahan hati, ia bersama teman-teman dan bawahannya melakukan pos kesehatan keliling gratis ke daerah-daerah yang kehidupannya sangat memprihatinkan. Ia mampu menyelesaikan sarjana kedokterannya di Universitas terkenal dan ternama di Jerman, bahkan menjadi wisudawan terbaik dan banyak rumah sakit besar di Jerman dan menawarkan dirinya. Tapi ia lebih memilih tanah air yang telah membesarkannya, tempat ia dibesarkan bersama Ibunda tercinta, tempat dimana banyak nyawa orang miskin yang terancam kematian tanpa pengobatan.