Setiap pekan usai solat jum’at, sudah menjadi
kebiasaan seorang imam (mesjid) dan anaknya yang berumur 11 tahun selalu
membagikan brosur atau buku-buku islam di jalanan dan keramaian, diantaranya
sebuah buku dakwah yang berjudul “jalan menuju surga”. Tapi kali ini cuaca
diluar tidak mendukung, suasana sangat dingin dengan air hujan yang turun
sehingga membuat orang-orang malas untuk keluar rumah. Namun si anak telah siap
memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dingin.
“Saya sudah siap, Abi!” Kata
sang anak kepada bapaknya.
“Siap untuk apa nak?”
“Abi, bukankah ini waktunya kita membagikan buku ‘jalan menuju surga’?”
“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”
“Tapi Abi, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka meski suasana sangat dingin.”
“Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”
“Abi, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan buku ini.”
Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, tapi bawa beberapa buku saja, jangan banyak-banyak.”
Anak itupun pergi ke jalanan kota untuk membagikan buku kepada orang
yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berlalu hingga tersisa satu
buku ditangannya. Jalanan semakin sepi dan ia tidak lagi menjumpai orang yang
lewat. Lalu ia mendatangi sebuah rumah, ia pencet tombol bel rumah tersebut
namun tidak ada yang menjawab. Ia pencet lagi, dan tetap saja tidak ada yang
menyahut. Hampir saja ia berniat untuk pergi, namun seakan ada suatu rasa yang
menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memncet bel, dan ia mengetuk
pintu dengan keras.
Tak lama kemudian, pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam berkata, “Apa yang bisa saya bantu wahai anakku?”
Dengan wajah ceria, dan senyum yang bersahabat si anak berkata, “Sayyidati (panggilan penghormatan untuk seorang wanita), mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa buku dakwah untuk Anda yang mengabarkan kepada Anda bagaimana mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”
Anak itu menyerahkan bukunya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih Nak”
Tak lama kemudian, pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam berkata, “Apa yang bisa saya bantu wahai anakku?”
Dengan wajah ceria, dan senyum yang bersahabat si anak berkata, “Sayyidati (panggilan penghormatan untuk seorang wanita), mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa buku dakwah untuk Anda yang mengabarkan kepada Anda bagaimana mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”
Anak itu menyerahkan bukunya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih Nak”
Satu
pekan berlalu.
Seperti biasa sang imam memberikan ceramah di mesjid. Sesuai ceramah ia mempersilahkan jama’ah untuk bertanya atau ingin mengutarakan sesuatu.
Seperti biasa sang imam memberikan ceramah di mesjid. Sesuai ceramah ia mempersilahkan jama’ah untuk bertanya atau ingin mengutarakan sesuatu.
Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata, “Tak ada di antara hadirin ini yang mengenalku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya merasa belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berpikir untuk menjadi seperti ini. Sekitar sebulan suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapan untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap…saya berdiri di kursi…lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya ingin bunuh diri karena kesedihanku....
Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel
rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, paling sebentar lagi pergi batinku.
Tapi ternyata bel berdering lagi, ditambah
ketukan pintu yang makin kuat. Saya ragu, “Siapa kira-kira yang datang ini,
setahuku tak ada satupun orang yang mungkin memiliki keperluan atau perhatian
terhadapku.” Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk
melihat siapa yang mengetuk pintu. Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah
yang ceria wajahnya, dengan senyuman laksana malaikat yang belum pernah kulihat
sebelumnya.
Dia mengucapkan kata-kata yang menyentuh
sanubariku, ‘saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan
menjaga Anda.’ Kemudian anak itu menyodorkan buku kepadaku yang berjudul, Jalan menuju surga.
Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi
buku itu. Setelah membacanya, seketika kusingkirkan tali dan kursi yang telah
menungguku, karena aku tidak akan membutuhkannya lagi. Sekarang lihatlah aku, diriku sangat bahagia
karena aku telah mengenal Tuhanku yang sesungguhnya. Akupun sengaja mendatangi
kalian berdasarkan alamat yang tertera di buku tersebut untuk berterimakasih
kepada kalian yang telah mengirimkan malaikat kecilku pada waktu yang tepat,
hingga aku terbebas dari kekalnya api neraka, dan mudah-mudahan menjadi jalan
selamat dari kesengsaraan menuju surga yang abadi.”
Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir..Allahu Akbar..menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju tempat dimana malaikat kecil itu duduk dan memeluknya erat, dan tangisnyapun pecah tak terbendung dihadapan para jamaah.
Sungguh mengharukan, mungkin tidak ada seorang ayah pun yang tidak bangga terhadap anaknya seperti yang dirasakan imam tersebut.
Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir..Allahu Akbar..menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju tempat dimana malaikat kecil itu duduk dan memeluknya erat, dan tangisnyapun pecah tak terbendung dihadapan para jamaah.
Sungguh mengharukan, mungkin tidak ada seorang ayah pun yang tidak bangga terhadap anaknya seperti yang dirasakan imam tersebut.