close

Silahkan kunjungi website program-program mulia kami, klik tombol dibawah ini

www.rumahyatimindonesia.org


Telp. 0265-2351868 | WA 0878 8555 4556

Friday, 16 September 2016

Kita dan Aib


Seseorang yang besar (hebat, baik) sebenarnya tidaklah begitu hebat. Ia besar dan hebat oleh sebab Allah yang menjadikannya besar dan baik, salah satu caraNya dengan cara menutup aib orang yang kita anggap besar, hebat dan baik itu.

Sudah sekian kali, atau beribu kali kita temukan aib diumbar, baik di media cetak maupun daring. Dan beribu-ribu kali juga kita menikmati santapan sajiannya, “dengan begitu nikmat”.

Satu demi satu, aib-aib pembesar tampil di muka publik. Masa lalu, masa kelam, dikupas kembali seolah baru saja terjadi. Selain Rasul dan Nabi Allah, siapa yang luput dari dosa. Dosa yang juga aib.

Disaat kita ingin melupakan kepedihan masa-masa kelam yang pernah kita lalui, maka disaat yang sama orang lain mencoba mengupas-upas kejadikan itu. Mereka menikmati uraian-uraian kepahitan sebagai santapan yang begitu lezat. Baik demi alasan uang, ketenaran, atau mungkin hanya sekedar penikmat waktu luang. Yang pasti, kepedihan kita merupakan kenikmatan bagi sebagian orang. Baik bagi mereka yang terlibat dalam cerita dan pengalaman pahit itu, atau mereka si penjual cerita, bisnis, atau orang yang tidak ada hubungan dan keperluan sekalipun.

Menonton jual beli aib di sebuah stasiun TV kemarin benar-benar membuat saya miris dan takut setengah mati. Dari pembesar sampai orang orang kecil pun turut bergulat dengan takdir seorang yang terhimpit. Mereka (atau mungkin kita?) merayakan apa yang disebut “tebar aib”.

Dan saya pun kini kian takut. Takut kalau-kalau Allah menampilkan aib kita dipersimpangan jalan yang tak pernah terduga, dan dipenghujungnya aib itu menjadi santapan penjual cerita.

Dan saya berlindung kepada Allah dari hal itu.

Khutbah Ied tadi pagi rupaya kembali mencolek pikiran saya diatas itu. Katanya, media telah berhasil menyebarkan kebaikan dan juga keburukan. Bahkan lebih dari itu, media pun mampu menjungkirbalikkan kebaikan menjadi fitnah dan sebaliknya. Dan media itu salah satunya berada dalam jemari kita, ialah ibu jari.

Dahulu seorang hamba di jaman Nabi Musa a.s. keluar atas panggilan Nabil Allah itu. Lalu ia berkata, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, dan selama itu pula, Engkau menutup aib ku, maka aku bertaubat dan memohon ampunanMu”.

Lalu Allah menyampaikan cintanya kepada orang itu melalu Musa a.s. FirmanNya, “Ya Musa, Aku tidak membuka ‘aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka ‘aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?”.

Dalam kisah lain, seorang pemuda yang pernah berzina datang kepada Khalifah Umar r.a. Ditanyakan kepada sang khalifah, apakah perlu ia menyampaikan kisah kelamnya kepada calon istri cantiknya itu. Khalifah hanya menjawab, tutuplah aib mu sebagaimana allah telah menutup aib dirimu hingga hari ini.

Sahabat, tutuplah aib diri mu. Lakukanlah dengan menutup aib saudaramu. Jaga ibu jarimu dari hal itu.
Akhirul kalam, selamat merayakan Iedul Adha. Sila menikmati santapan daging telah dikurbankan. Pastikan kita tidak memakan daging saudara kita sendiri.

Semoga Allah menjaga dan menutup aib diri kita, didunia dan diakhirat kelak. Aamiin.