Ini adalah kisah
dua sahabat sejak SMP yang baru bertemu setelah beberapa tahun, Ahmad dan
Zainal. Ahmad adalah seseorang yang pintar namun kurang beruntung dari segi
ekonomi. Sedangkan Zainal adalah seseorang yang biasa saja namun karena keadaan
orang tua yang mapan mendukung karir masa depannya. Zainal sudah menjadi
seorang manager yang tetap menjaga kesholihannya. Setiap kunjungan ke luar kota
ia selalu menyempatkan untuk singgah di mesjid. Dia rajin menjalankan solat
sunnahnya dan tentu saja solat wajibnya.
Zainal tiba di
puncak Bogor, dan mencari mesjid untuk menunaikan solat. Dia pun menemukan
sebuah mesjid. Akhirnya Zainal dan Ahmad bertemu di koridor toilet tempat berwudhu
di sebuah mesjid yang megah dengan arsitektur cantik serta pemandangan kebun
teh yang terhampar hijau dibawahnya. Sungguh indah mempesona. Zainal tidak menyangka bisa bertemu dengan
kawan lamanya setelah beberapa puluh tahun, dan yang lebih membuatnya terkejut
adalah melihat fakta bahwa Ahmad sekarang bertugas sebagai marbot masjid.
“Maaf, kamu
Ahmad bukan? Ahmad kawan di SMP dulu?”
Ahmad pun nampak
terkeju karena mengenali siapa yang menyapanya. Lalu merekapun berpelukan
melepas rasa kerinduan yang amat dalam.
“Keren sekali ya
kamu mas... mantap.” Seru Ahmad melihat Zainal yang berpakaian rapi dengan
dasi. Serta lengan kemeja yang digulung untuk persiapab wudhu, menyebabkan jam
ber-merk terlihat oleh Ahmad.
“Ah biasa
saja...” Balas Zainal.
Zainal merasa
iba melihat Ahmad yang sedang memegang kain pel , celana digulung dan peci 8
dongak hingga jidat lebar terlihat jelas, khas marbot.
“Mad... Ini
kartu nama saya..” Lanjut Zainal.
Ahmad melihat, “Manager
area...wah keren.”
“Mad selepas saya shalat, kita bincang ya?
Maaf, kalau kamu berminat. Di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari
sekedar marbot di mesjid ini. Maaf...”
Ahmad tersenyum,
Ia mengangguk. “Terima kasih ya... Nanti kita bincang.”
Sambil berwudhu,
Zainal tak habis pikir mengapa Ahmad yang pintar hanya bisa bekerja sebagai
marbot. Ya, meskipun tak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai marbot, tapi
marbot... ah, pikirannya tidak mampu membenarkan. Zainal menyesalkan kondisi
negeri ini yang tak berpihak kepada orang yang sebenarnya memiliki talenta serta kecerdasan, namun
miskin.
Zainal pun melakukan shalat sunnah, karena ia
sudah melakukan shalat wajib di mesjid sebelumnya. Zainal sempat melirik
seseorang yang ada dibelakangnya, “Barangkali ini kawannya Ahmad.” Pikirnya.
Zainal menyelesaikan doanya secara singkat, karena ingin segera berbincang
dengan Ahmad. Namun tiba-tiba anak muda yang shalat dibelakangnya memanggilnya.
“Pak, kenal
dengan bapak Insinyur Haji Ahmad?”
“Insinyur Haji
Ahmad, yang mana?” Tampak Zainal kebingungan.
“Itu yang
barusan berbincang dengan bapak.”
Zainal
menyadari, “Oh.. Ahmad.. iya kenal. Kawan saya dulu di SMP. Sudah haji?”
“Dari dulu sudah
haji pak. Dari sebelum beliau bangun mesjid ini.”
Kalimat tersebut
bear-benar menampar hati Zainal.
Anak muda pun
menambahkan, “Beliau orang hebat Pak, Tawadhu. Saya lah marbot asli di mesjid
ini. Saya karyawan beliau. Beliau yang bangun mesjid ini di atas tanah wakaf
sendiri. Beliau bangun mesjid indah ini sebagai transit bagi siapapun yang
hendak shalat. Bapak lihat mall megah di bawah sana? Juga hotel indah di seberangnya?
Itu semua milik beliau. Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di mesjid
ini. Bahkan salah satu kesukaanya, aneh, senang menggantikan posisi saya.
Karena suara saya bagus, kadang saya diminta mengaji dan adzan saja.”
Entah apa yang
ada di hati dan pikiran Zainal.
Jika Zainal
adalah kita, mungkin saat bertemu kawan lama yang sedah bersihkan toilet,
segera beritahu posisi kita yang sebenarnya. Atau jika kita adalah Ahmad kita
akan langsung menyangkal lalu menjelaskan bahwa kita adalah pemilik mesjid.
Karena sesungguhnya kita harus meniru sifat yang dimiliki oleh Ahmad bahwa kita
jangan sombong dengan apa yang kita miliki. Orang yang ikhlas adalah orang yang
menyembunyikan kebaikannya, seperti ia menyembunyikan keburukannya. Dan
kemudian Allah lah yang akan memberitahu siapa kita yang sebenarnya.