Sahabat, ‘Rasul bersabda, “Tak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada rasa sombong walau sebesar biji sawi.” Lalu sahabat bertanya, “Bagaimana jika ada orang yang suka memakai baju bagus?” Rasul menjawab, “Allah Maha Indah dan suka keindahan, sedangkan sombong adalah berpaling dari kebenaran dan mencemooh manusia lain.” (HR. Muslim)
Sombong, riya, ujub, takabur adalah sifat dasar manusia yang sering muncul tanpa disadari oleh si empunya. Ketika dilahirkan dengan keadaan lebih dari orang lain, terkadang muncul rasa lebih ketika melihat orang yang kurang. Misalkan, ketika diberi tubuh yang sehat, segar, bugar tanpa pernah menderita penyakit, merasa bahwa dirinyalah yang mampu menjaga kesehatannya itu.
Sehingga saat melihat orang lain yang sedang menderita sakit, tanpa sengaja terbersit dalam pikirannya bahwa orang itu tak seperti dirinya yang mampu menjaga kesehatan dengan baik. Ketika diberi fisik yang sempurna, saat melihat orang yang cacat dan tak bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang normal. Langsung berujar dalam dirinya, bahwa dia jauh lebih hebat dan bisa melakukan apapun.
Dan ketika memiliki fisik yang cantik/tampan, saat melihat orang yang biasa saja, menjadi seperti yang meremehkan. Tak mau berteman, jangankan berteman, dekat saja tidak mau, hanya karena ia tidak memiliki kecantikan/ketampanan seperti yang dimilikinya. Padahal, apalah arti semua itu? Mengapa kita merasa lebih atas titipan-Nya? Titipan yang kelak akan dikembalikan kepada yang punya.
Merasa sehat, kuat, bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Sehingga memandang remeh yang lain, padahal belum tentu juga semua hal bisa dia lakukan. Karena setiap orang dilahirkan dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ketika kau diberikan kelebihan, maka Allah pun akan memberikan kekurangan. Lagipula kesehatan itu hanyalah nikmat sementara, ketika usia sudah lanjut, belum pasti juga kesehatan itu akan tetap menemani.
Diberikan panca indera yang lengkap. Merasa memiliki mata yang indah, yang mampu melihat dengan jelas. Tak seperti orang-orang yang tak bisa melihat atau orang-orang yang berkacamata. Sehingga membanggakan kelebihan matanya. Ketika ada temannya yang berkacamata bertanya, dengan tanpa sengaja, ia berkata, makanya kaya aku donk, gak pake kacamata.
Tanpa sadar itu adalah kesombongan yang bisa saja menyakiti hati temannya. Padahal untuk apa membanggakan mata yang sehat jika hatinya tak sehat? Jika mata yang sehat itu diperbolehkan melihat segala sesuatunya, segala yang dihalalkan bahkan hingga hal-hal yang diharamkan. Sehingga mata hatinyalah yang buta. Lebih baik buta mata daripada dibutakan mata hatinya oleh Allah.
Merasa memiliki telinga yang hebat, yang mampu mendengar dengan baik. Tak seperti para tunarungu. Sehingga membanggakan telinganya, yang ketika melihat atau bertemu dengan orang yang bermasalah dengan pendengarannya, ia akan meremehkan. Padahal untuk apa membanggakan telinga yang sehat jika hatinya tak sehat? Jika telinga yang sehat itu hanya dipakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Sehingga tak ada lagi kebaikan-kebaikan yang didengarkan atau kebaikan yang didengarnya sudah tertutupi oleh hal-hal yang tidak bermanfaat itu. Atau bahkan jika mendengar kebaikan, hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Cuma numpang lewat, tanpa dicerna terlebih dahulu. Bahkan sama sekali tak diambil hikmahnya, pelajarannya, manfaatnya.
Untuk apa juga membanggakan kelebihan fisik kita yang tak dimiliki orang lain, kelak fisik itu akan hancur dalam tanah. Bahkan jika Allah menghendaki, fisik itu bisa rusak sebelum waktunya. Membanggakan fisik dengan melupakan sang Pemberi keindahan. Membanggakan fisik semata, tanpa pernah memikirkan bagaimana caranya melengkapi keindahan fisik dengan keindahan psikis.
Allah memberinya kecantikan. Ia memiliki rambut yang panjang, mata yang sehat, tinggi badan semampai, wajahnya pun cantik. Dengan manifestasi itu, ia memulai pergaulannya. Ketika masuk ke sekolah negeri, ia langsung mencari popularitas. Sama sekali tidak mau diketahui asal-usul keluarganya. Ia tak mau, keadaan keluarganya akan menghancurkan popularitasnya.
Dalam memilih teman, ia hanya mau berteman dengan orang-orang yang diberi kecantikan yang minimal sama dengannya, atau dilahirkan dari keluarga kaya raya, atau yang sama-sama menjadi gadis populer di sekolahnya. Gaya hidupnya benar-benar high class padahal kalau dilihat dari latar belakang keluarganya, ia bukanlah terlahir dari anak orang kaya, ia hanyalah anak orang biasa-biasa saja.
Prestasinya di sekolah pun tergolong biasa saja. Dia hanya mengandalkan kecantikannya semata. Seolah-olah dengan kecantikannya itu, dia bisa memiliki segalanya. Ketika banyak kaum adam yang mendekatinya dan menyatakan cinta padanya, ia akan memilih terlebih dahulu. Ia tak kan segan untuk menolak dengan kata-kata kasar saat lelaki yang mendekatinya itu tak setampan yang ia inginkan.
Namun, saat musibah terjadi padanya. Apa yang bisa ia lakukan? Ia bahkan tak lagi bisa membanggakan kecantikan wajahnya, karena wajah yang dibanggakannya hancur. Hancur tak berbentuk. Bahkan, dalam mengucapkan satu patah kata pun, ia tak mampu. Allah telah mengambil ruhnya dari jasadnya dan menyisakan jasad itu dalam keadaan tak lagi sempurna.
Lantas, untuk apa kita berbangga diri? Membanggakan hal yang tak abadi. Kelak ketika kita sehat, akan datang waktu sakit. Ketika kita segar-bugar, akan datang waktu menua. Dimana fisik kita tak kan lagi berfungsi secara optimal, kemampuannya akan semakin menurun. Kecantikan, ketampanan, akan luntur dimakan usia. Bahkan ketika kita meninggal, tubuh ini akan hancur-lebur menjadi satu dengan tanah.
Banyak cerita tragis yang terjadi pada orang-orang besar. Seorang atlit, yang terlihat begitu sehat, gagah, seolah tak pernah sakit, namun Allah memanggilnya saat ia benar-benar dalam posisi puncak keberhasilannya. Seorang penakluk satwa liar, yang orang sudah percaya dengan kemampuannya, bahkan meninggal melalui perantara satwa juga. Seorang artis terpaksa mengakhiri hidupnya, karena sudah tidak kuat lagi dengan kepopulerannya. Padahal ia memiliki fisik yang sempurna.
Tak perlulah lagi membangga-banggakan fisik yang tak kan kita bawa sampai mati. Fisik ini hanya titipan, titipan agar kita bisa tetap beribadah padanya. Ia tak kan memberikan jaminan bahwa kita akan bahagia, ia tak kan menjanjikan kesuksesan. Karena ia hanyalah titipan. Titipan yang perlu kita jaga juga, agar saat dikembalikan ia tak membawa kerusakan yang seharusnya tak ada.
Rambut yang hitam akan memutih, mata yang dulunya bisa melihat dengan jelas akan mulai buram, telinga yang dulunya mampu mendengar dengan jelas akan mulai kehilangan kemampuannya, kulit yang indah akan berkerut, tangan yang kuat akan melemah, kaki yang dulunya menjadi pondasi tak kan lagi kuat menopang tubuh ini. Semuanya akan berubah.
Takkan ada yang kekal, tak kan ada yang abadi, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah. Fisik ini akan kehilangan kesempurnaannya, namun jangan sampai jiwa kita, hati kita, juga kehilangan. Ia lah yang harus kita jadikan jaminan, melalui perantara fisik untuk beribadah pada Allah. Untuk membeli kebahagiaan dan kesuksesan di dunia maupun di akhirat kelak.