Lulus dari SMA Ahmad mencoba mengadu nasib ke Ibu Kota. Di kota ini ia diterima di sebuah pabrik garmen sebagai teknisi listrik. Pekerjaan ini ia lakoni selama 12 tahun, mulai dari karyawan biasa hingga kepala bagian.
Karena pabriknya bangkrut, Ahmad terpaksa berpindah-pindah kerja. Di perusahaan terakhir, Ahmad juga melihat akan mengalami hal yang sama. Hingga suatu hari bosnya berkata, “Ahmad, kamu ini sebenarnya orang pintar dan tidak pantas jadi karyawan.”
Ketika tempat kerjanya bangkrut, Ia mendapat pesangon Rp 1 juta dan tambahan dari bosnya Rp 1 juta. “Saya sadar jika uang segitu jika dibelanjakan akan habis dalam hitungan hari,” kenang Ahmad. Ia kemudian berfikir, uang Rp 1 juta itu ia gunakan untuk membayar uang muka motor sebagai modal usaha.
Dengan motor itu ia menawarkan jasa servis ke perusahaan-perusahaan garmen. Karena kegigihan dan layanan yang memuaskan, dalam waktu tidak lama ia sudah mempunyai 6 pelanggan pabrik garmen dengan total jumlah mesin jahit sekitar 200 biji. Penghasilan dari jasa servis itu cukup lumayan dan bisa untuk menopang hidupnya di Jakarta.
Suatu hari rekan kerjanya menawari kerja sama membuka usaha konveksi. Ahmad menyambut suka cita tawaran itu dan menaruh harapan besar dari usaha baru ini. Dengan modal Rp 50 juta, ia mulai membuka usaha konveksi dengan membeli mesin jahit dan bahan produksi. Mesin jahit tersebut tidak semua dijadikan alat produksi. Jika ada yang butuh, mesin itu dijual kembali.
Tidak lama, usahanya menuai sukses. Produknya mampu menembus Amerika. Namun di saat ia menikmati kesuksesan, sesuai kesepakatan awal, temannya akan menarik modal tersebut. “Saya sudah siap mandiri, bagaimana dengan Pak Ahmad? Kapan kira-kira Pak Ahmad siap?” ungkap sang rekan kala itu.
Tentu saja itu menjadi pukulan berat baginya. Apalagi saat itu pesanannya mulai ada tanda-tanda menurun setelah tragedi runtuhnya menara WTC di Amerika tahun 2001. Tragedi itu secara langsung berimbas pada kegiatan perekonomian negeri Paman Sam, tidak terkecuali produk garmen.
Namun sang rekan masih berbaik hati dengan memberi kesempatan Ahmad selama tiga bulan lagi. Kesempatan tersebut ia manfaatkan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyak sebagai modal ketika sang rekan betul-betul memutus kerjasama.
Kerja keras Ahmad membuahkan hasil. Ia berhasil memperoleh keuntungan Rp 7 juta. Uang tersebut ia gunakan membeli mesin jahit sebanyak 10 buah. Ia pun dengan berani mengontrak rumah sebagai tempat usaha sebesar Rp 5 juta pertahun. “Alhamdulillah, kontraknya tidak dibayar dimuka,” kenangnya.
Seiring dengan waktu, usaha konveksi dan jual beli mesin jahitnya mulai berkembang. Karena merasa cukup modal, akhirnya tahun 2005 ia mendirikan CV sendiri sebagai. Dengan bendera ini, ia mulai bermain pada skala yang lebih besar.
Tahun 2007, ada sebuah pabrik garmen mengalami pailit. Pabrik tersebut banyak masalah dan sang pemilik kabur sebelum menyelesaikan urusan dengan karyawannya. Tidak ada perusahaan atau pemilik modal yang mau mengambil alih.
Dengan niat ingin menolong, Ia menawarkan diri untuk membelinya. Meskipun ia sendiri tidak mempunyai uang sebanyak itu. Ia hanya mempunyai uang Rp 25 juta dan sisanya dibayar dengan cara mencicil.
Di luar dugaan tawaran Ahmad disetujui oleh pihak menejemen. Dan hebatnya, dalam tempo satu bulan pembayaran bisa lunas.
Kini, usaha Ahmad terus berkembang. Jumlah karyawannya 8 orang. Omsetnya sudah mencapai ratusan juta rupiah tiap bulannya.
Ketika ditanya, ia enggan menyebutkan secara pasti. Tapi yang jelas setiap bulannya Dia mampu mengangsur ratusan juta. “Nggak tahu ya berapa omsetnya, yang jelas tiap bulan saya membayar kewajiban kepada rekan bisnis Rp 400 juta,” jelasnya.
Sedekah Kulkas ...
Keberhasilan Ahmad dalam berbisnis ternyata dilandasi oleh semangatnya yang merasa tidak pernah rugi dalam berbisnis.
Menurutnya, perkataan rugi berarti tidak yakin bahwa rezeki datangnya dari Allah atau ber-su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah. Baginya, berbisnis atau berdagang harus berprinsip selalu untung.
“Untung tidak diartikan secara materi (uang) semata, namun karena berdagang adalah diniatkan sebagai ibadah maka keuntungan tersebut bisa berupa pahala, hubungan silaturahim maupun kemudahan lainnya,” jelasnya.
Selain itu, Ahmad juga punya keyakinan bahwa dalam menjalankan bisnis tidak boleh melupakan zakat dan sedekah. Ini yang ia buktikan.
Suatu saat pada bulan Ramadhan, ia membaca di koran ada panti asuhan anak membutuhkan alat rumah tangga. Ahmad langsung teringat pada kulkasnya. Ia kemudian mensedekahkan kulkas tersebut kepada panti asuhan itu.
Setelah kejadian tersebut Ahmad banyak mendapat kemudahan dalam bisnisnya. Antara lain, ia mendapat order yang tidak terduga sebelumnya. Beberapa relasinya yang mempunyai hutang kepadanya, membayar dengan tunai. “Padahal saya sudah lupa utang mereka,” terangnya.
Sejak itu ia semakin yakin bahwa zakat, infak, dan sedekah pasti akan diganti oleh Allah dengan yang lebih banyak lagi.
Setelah kejadian itu, ia pun dengan senang hati meminjamkan rumahnya ke sebuah panti asuhan untuk beberapa tahun. “Kita harus yakin dengan janji Allah, bukan sekedar di akhirat, di dunia kita sudah bisa merasakan. Apalagi dengan menyantuni anak yatim, doa-doa mereka akan menjadi kekuatan bagi kita. Jadi jangan ragu untuk berbagi,” saran bapak empat anak ini.
Kedermawanan Ahmad tidak sekedar menjadi donatur sebuah panti asuhan saja, namun sudah beberapa tahun ini dirinya beserta istri juga tengah mengasuh beberapa anak yatim dan dhuafa.
Setidaknya ada 40 anak asuh yang mereka santuni. Sebagian besar mereka masih tinggal bersama keluarganya. “Supaya mereka tidak terpisah atau tercabut dari kasih sayang keluarganya,” jelas Ahmad.
Selain itu, ia pun selalu berusaha melaksanakan ibadah sebaik mungkin. Dari hasil usahanya itu, ia bersama istrinya bisa menunaikan haji ke Baitullah. “Dengan banyak bersedekah, insya Allah usaha kita akan dilancarkan oleh Allah,” pungkasnya.