Abul Yatama adalah nama yang disematkan oleh teman-temannya kepada seorang pemuda, karena keikhlasan dan ketulusan hatinya dalam mengurus puluhan bahkan ratusan anak yatim yang ia sendiri tidak terlalu mengenal siapa mereka dan bagaimana latar belakangnya. Yang mendorong hatinya tergerak untuk ikut serta mengurus anak yatim adalah empati kemanusiaannya. Namun siapa sangka, sosok yang kalem itu juga pernah mengalami masa-masa sulit penuh perjuangan.
Abul Yatama sebelumnya pernah merintis bisnis meubel dan untuk menjalankan usahanya itu ia harus berhutang ke berbagai pihak hingga puluhan juta rupiah. Selain digunakan sebagai modal, sebagian duit pinjaman itu ternyata ia gunakan pula untuk memenuhi biaya kebutuhan sehari-hari dirinya, juga orang-orang yang terlibat dalam membantu usahanya. Ia bukan tidak memiliki order dari usaha meubelnya, bahkan ia termasuk yang beruntung karena sebagai pemula sudah memiliki beberapa pesanan dari kalangan kaum ternama.
Namun demikian, ada lahan garapan bukannya membuat nasib Abul Yatama berubah. Setiap order yang diterimanya, dikerjakan dengan dana seminimal mungkin. Alasannya, ia ingin menjaga hubungan silaturrahim dengan pihak yang memberinya order. Ia menerima order itu sebatas untuk membangun reputasi perusahaan lebih dulu. Harapannya karena yang memberinya order adalah orang ternama, mereka bisa menjadi ujung tombak yang ampuh dalam promosi usaha, melalui gethok tular, dari mulut ke mulut. Karena itulah, setiap menerima order, ia hanya mengajukan anggaran secukupnya untuk menutupi kebutuhan bahan mentah dan upah kerja karyawan lepasnya.
Itulah yang membuatnya hampir tidak pernah mampu menyimpan sisa uang yang cukup untuk diputarnya. Kondisi itulah yang menyebabkannya terjebak hutang di berbagai tempat hingga puluhan juta rupiah. Banyak yang heran sebagai pengusaha dengan banyak order, mengapa ia tetap memiliki hutang. Rupanya tak banyak yang tahu kondisi yang sedang dialaminya. Ketika hutangnya telah tersebar di berbagai pihak, ia terlihat mulai panik. Selain harus memikirkan bagaimana cara menutup hutang, ia juga harus mengadakan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sekaligus harus membiayai kuliah adiknya.
Nasibnya mulai berubah ketika ia mulai banyak bergaul dengan kalangan ulama. Oleh para ulama itu, ia diminta membantu mengurus santunan anak-anak yatim yang jumlahnya ratusan jiwa. Ia menyanggupi kepercayaan itu dan menjalankan dengan penuh ketulusan. Tidak tampak keluh kesah di wajahnya. Sebaliknya, ia terlihat bahagia mampu menjawab kepercayaan itu. Baginya, kesanggupan untuk menjalankan kepercayaan para ulama, adalah pengabdian sejati. Ia percaya, ada hikmah di balik semua ini. "Ia sedang berburu berkah", bisik seorang teman dekatnya. Ada yang menyangka, sebagai bujangan, Abul Yatama dianggap sedang menunggu 'durian runtuh' yakni berharap mendapatkan jodoh santriwati. Dengan berakrab-akrab dengan kalangan ulama, ia memiliki kesempatan luas untuk unjuk diri sebagai orang yang cocok dijodohkan setidaknya dengan seorang gadis penghafal Al-Quran.
Tetapi, Abul Yatama jauh dari semua angapan itu. Ia tetap bekerja dengan serius, dan hebatnya, ia sama sekali tidak pernah menggunakan dana santunan anak yatim yang dikelolanya untuk kegiatan bisnisnya. Ia menggunakan dana sendiri untuk menopang kegiatan usahanya sehari-hari. Tidak banyak yang tahu, dari ketulusannya itulah, ia akan akrab dengan dunia spiritual. Ia terlihat rajin mendirikan tahajud. Hidupnya pun tampak berbeda dengan kondisinya beberapa tahun silam. Ia kian sering terlihat sumringah, meskipun masih tetap memilih lajang. Sedikit demi sedikit, tanpa disadarinya, ia telah mulai kenal dengan banyak orang ternama dari pergaulannya mengurus anak yatim dan berbagai kegiatan sosial lainnya.
Dalam doanya di setiap tahajud, tidak pernah ia protes Allah dengan menuduhnya menimpakan kepadanya tumpukan hutang. Ia tidak pernah merasa dikutuk Allah sebagai hamba yang ditakdirkan menjadi kaum miskin. Dalam tahajudnya, ia selalu berusaha optimis, dibangunnya perasaan baik sangka kepada Allah, kekasihnya tercinta. Setapak demi setapak dengan tenang, tulus, dan semangat, ia membangun usahanya. Dengan gigih dikerjakannya setiap order yang diterimanya di tengah keterbatasan karyawan, tempat dan modal. Namun, jika Allah telah menunjukkan kuasanya, tidak ada yang dapat menolak. Abul Yatama sekarang berbeda dengan sosok yang dulu. Kini ia lebih tekun mengurus usahanya, mencatat pemasukan dan pengeluaran secara cermat.
Berbagai order dihitungnya secara sungguh-sungguh dengan perhitungan profesional bisnis, setidaknya, ia tidak ingin mengambil untung terlalu berlebihan tetapi tidak pula merugikan bisnis yang sedang dalam tahap perintisan itu. Satu per satu order diterima, dan kini ia telah menggarap order bernilai ratusan juta rupiah. Ia juga menerima tawaran untuk menyuplai kebutuhan sebuah perusahaan eksportir. Kini ia sibuk berbenah, menyiapkan tempat pengolahan kayu dan meningkatkan kualitas anak buahnya.
Itulah buah tahajudnya yang menggerakan perubahan dirinya secara dahsyat. Tahajud membuatnya lebih tekun, optimis dan tidak gegabah dalam menjalani hidup. Ia juga terlihat lebih tulus dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dengan terlibat berbagai kegiatan sosial. Inilah rahmat dan berkah yang didapatnya lewat tahajud, yakni kesadaran tentang hidup, bahwa hidup tak cukup hanya mengandalkan kecerdasan intelektual. Hidup membutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual, termasuk bagaimana melibatkan diri dalam kegiatan sosial. Inilah yang membuat Abul Yatama mampu merengkuh berbagai berkah hidup di dunia dan di akhirat kelak. Seperti janji Allah SWT,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah 2:261)