Berbagai macam penyikapan orang terhadap kehidupan dunia ini, baik terhadap pekerjaan, kekayaan atau kedudukannya. Di antara mereka ada yang beruntung dan ada pula yang merugi. Semoga kita termasuk golongan yang beruntung. Siapa sajakah mereka?
Pertama, yaitu orang yang dengan pekerjaan, kekayaan atau kedudukannya, ia beramal shaleh. Karena yang akan ia bawa ke akhirat adalah amal shaleh dan ketaqwaan.
Suatu ketika Kumail bin Yizad berjalan dengan Ali Abi Thalib ra. Kemudian, Ali menoleh ke sebuah kuburan lalu berkata, “Wahai penghuni tempat yang menyeramkan, wahai penghuni tempat penuh bala`, bagaimana kabar kalian saat ini? Maukah kalian kuberitahu kabar dari kami? Harta kalian telah dibagi-bagi, anak-anak kalian telah menjadi yatim, dan istri kalian telah dinikahi oleh orang lain. Kini, maukah kalian memberi kabar kepada kami?”
Lalu, Ali berkata, “Wahai Kumail, seandainya mereka diizinkan menjawab, mereka akan mengatakan, “Sebaik-baiknya bekal adalah takwa.”
Ali menangis sejenak. Lalu berkata, “Wahai Kumail, kuburan itu adalah kotak amal, dan di kala kematian, kabar dari isi kotak amal itu akan menghampirimu.” (Kanzul `Ummaal, Juz III, hal.697)
Apa yang akan kita bawa sebagai bekal di akhirat hanyalah amalan kita atas harta, jabatan, kekuasaan itu. Semua yang pernah kita lakukan akan terbuka. Semua amal itu akan berbalik kepada kita. Amal baik diberi ganjaran kebaikan, demikian pua sebaliknya.
Kedua, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan atau kedudukannya membangun nama baik untuknya. Apa artinya jika semua itu malah menjadikan namanya buruk.
Seorang koruptor, mungkin dia berhasil mendapatkan banyak uang dan kekayaan melimpah. Tapi, apalah arti semua itu jika malah menjatuhkan namanya sebagai seorang pencuri.
Rasulullah Saw. menghendaki agar umatnya bisa menjaga kehormatan dan harga diri selama berada di dalam kebenaran. Bahkan jikapun perlu mengeluarkan harta demi membela kehormatan diri, maka itu dianjurkan jika apa yang ia lakukan itu dalam rangka mengungkap kebenaran. Rasulullah Saw bersabda, “Peliharalah untuk menjaga diri kamu dengan harta kamu.” (HR. Ad Dailami).
Ketiga, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan, atau kedudukannya, semakin menambah ilmu dan kedekatan dengan Allah Swt. Apalah artinya pekerjaan, kekayaan, dan kedudukan jika menjauh dari Allah.
Harta akan menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah manakala harta tersebut dibelanjakan sesuai dengan petunjuk-Nya. Allah Swt. berfirman, “Dan, perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimispun (memadai)..” (QS. Al Baqarah [2]: 265).
Keempat, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan, atau kedudukannya, semakin menambah silarutahim. Apalah artinya pekerjaan, kekayaan, kedudukan tinggi, jika menjadikan dirinya semakin jauh dari orang-orang, atau malah mendatangkan kebencian dari orang lain.
Semakin banyak saudara, semakin bahagialah kita. Karena ketika silaturahim terjalin baik dengan orang lain, maka akan terjadi saling berbagi ilmu dan pertolongan. Semakin banyak saudara, semakin beruntung. Sebaliknya, semakin banyak musuh, semakin rugi.
Suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku amal yang dapat memasukkan akan ke surga”. Rasulullah menjawab, “Engkau menyembah Allah, jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu, engkau dirikan shalat, tunaikan zakat dan engkau menyambung silaturahim“. (HR. Bukhari).
Kelima, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan, atau kedudukannya, semakin menebar manfaat untuk orang lain.
Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah, dan amal apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain, adapun amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri seorang muslim, atau engkau menghilangkan suatu kesulitan dirinya, atau engkau melunasi utang atau menghilangkan rasa laparnya.
Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (membantu) suatu kebutuhannya, lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan, barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat.
Dan, barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani).