Pernikahan akan langgeng dan barakah ketika pasutri memiliki
perasaan cinta dan kesetiaan yang besar kepada pasangannya. Bahkan terkadang
dominasi kesetiaan saja bisa mewujudkan rumah tangga tetap kokoh meski
terkadang salah satu pasangan perlu memendam, ketidaksukaan pada pasangannya.
Simak kisah inspiratif yang di zaman kini mungkin Anda sulit menemuinya. Sebuah
cerita nyata sosok suami yang sangat menjaga perasaan istri dan berupaya sekuat
tenaga agar istrinya merasa bahagia.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Dan diceritakan seorang laki-laki menikahi seorang perempuan. Ketika masuk
menemui si laki-laki, perempuan itu menyatakan memiliki penyakit cacar. Si
laki-laki berkata, “Mataku sakit sekali”. Kemudian ia berkata lagi: “Aku
sudah tak bisa melihat.” Setelah 20 tahun, perempuan itupun meninggal
tanpa menyadari bahwa suaminya itu sebenarnya bisa melihat. Lalu ada yang
bertanya kepada si laki-laki itu tentang perbuatannya tersebut, ia berkata: “Aku
tidak suka kalau sampai ia menjadi sedih karena aku melihat penyakitnya.
Kemudian dikatakan padanya, masa-masa itu telah berlalu”” (Madarijus
Salikin, 2/326).
Syaikh Doktor Muhammad bin
Luthfi Ash-Shabbagh rahimahullah berkata, seorang kawan
bercerita kepadaku tentang syaikhnya yang mengutarakan rahasia hidupnya. Syaikh
itu berkata, “Aku telah menjalani kehidupan bersama istriku selama 40 tahun,
dan aku tidak pernah melihat satu pun hari yang menyenangkan.
Sesungguhnya sejak pertama kali aku masuk menemuinya, aku telah menyadari bahwa
sama sekali tidak cocok untukku. Hanya saja ia adalah putri pamanku, dan akupun
yakin bahwa tidak akan ada orang yang dapat menerimanya. Lalu aku berusaha dan
memohon balasan kebaikan dari Allah. Allah pun mengaruniakanku anak-anak yang
penuh bakti dan shalih darinya. Ketidaksukaanku padanya membantuku menyibukan
diri dengan ilmu. Hasilnya adalah sekian banyak karangan yang aku harapkan
dapat menjadi ilmu yang bermanfaat dan tergolong sebagai shadaqah jariyah.
Hubunganku yang buruk dengannya memberikan kesempatan untuk membina
hubungan sosial yang produktif dengan orang banyak. Kalau saja aku menikah
dengan orang lain, mungkin hal-hal itu semua sama sekali tidak dapat aku
wujudkan” (Nazharat fil Usrah al-Muslimah, hal. 196)
Kisah ketiga sebagaimana
perkataan Syaikh Ash-Shabbagh, Seorang kawan yang lain bercerita kepadaku, ia
berkata “Sejak hari pertama pernikahan kami, aku benar-benar tidak menemukan
kecenderungan ataupun rasa suka terhadap istriku. Namun aku berjanji kepada
Allah akan bersabar bersamanya dan tidak akan mendzaliminya, serta ridha dengan
apa yang telah Allah peruntukan bagiku. Kemudian aku mendapatkan kebaikan yang
berlimpah berupa harta, anak, keamanan dan taufik”. (Nazharat fil Usrah
al-Muslimah, hal. 196).
Subhanallah….
Sungguh mengagumkan perilaku
mereka dalam merajut tali kasih diantara pasutri. Mereka begitu lembut
dan menghargai perasaan pasangan meskipun harus mengorbankan perasaannya
sendiri. Tujuannya tidak lain demi membuat istrinya bahagia.
Merekalah tipikal suami setia
yang menyayangi pasangan hanya mengharap ridha-Nya, sungguh mulia dan
mempesona akhlak mereka.
Rasulullah Shalallahu’alaihi
Wasallam berwasiat :
إِنَّ
مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya orang yang
paling baik diantara kalian adalah yang paling bagus akhlaknya” (Shahih:
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya no. 3559, Imam Muslim dalam shahinya
no. 9987, dan Imam At-Tirmidzi dalam sunannya no. 1975);
Syariat Islam juga melarang
para suami untuk berbuat zalim kepada istrinya bahkan diperintahkan mempergauli
dengan baik. Sebagaimana firman Allah :
وَعَا
شِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaulah dengan
mulia secara patuh” (QS. An-Nisa : 19).
Dan sebagai kisah penutup,
kiranya cerita ini mampu menggugah keimanan kita untuk lebih memperhatikan
pasangan meskipun begitu banyak perbedaan diantara keduanya.
Ibnul Arabi menyebutkan
dengan sanadnya dan berkata: “Istrinya berperangai jelek, tidak menjalankan
kewajibannya sebagai istri dan selalu menyakiti suaminya dengan lidahnya.
Orang-orang banyak yang heran dan mencela sikap sabarnya terhadap sang istri.
Abu Muhammad selalu berkata, “Aku telah diberikan Allah berbagai macam nikmat
berupa kesehatan, ilmu dan budak-budak yang kumiliki. Mungkin sikap jelek
istriku terhadapku disebabkan hukuman Allah kepadaku karena dosa-dosaku,
aku takut jika ia kuceraikan akan turun ujian kepadaku lebih berat daripada
ujian perangai istriku yang jelek.” (Ahkam Al-Qur’an, I/363).