Pada suatu hari Umar sedang membicarakan masalah rakyat bersama para sahabat besar, orang-orang bijak, dan para cendikiawan. Mendadak, seorang pemuda tampan yang dibalut baju bersih menghadap. Pemuda itu ditarik dan diseret oleh dua pemuda lain yang juga mengenakan pakaian bersih. Umar bin Khatab melayangkan pandangan pada kedua pemuda tadi dan juga pada pemuda yang mereka seret.
Kedua pemuda tadi lalu mendekat dan berkata, “Amirul mukminin, kami adalah saudara kandung yang teguh dalam menegakkan kebenaran. Kami memiliki seorang ayah sudah tua. Ia pandai dalam menyelesaikan masalah, dihormati oleh kabilahnya, terhindar dari sifat tercela, dan terkenal dengan keutamaannya. Dia mendidik kami ketika kecil, mengajari kami ketika dewasa, dan mencurahkan kasih sayang yang tak terhingga bagi kami. Pada suatu hari, ayah kami pergi ke kebun, merawat tumbuhan dan memetik buah yang telah matang. Lalu pemuda ini membunuhnya. Ia telah menyimpang dari kebenaran. Oleh sebab itu, kami menuntut agar ia dijatuhi hukuman qishash. Hukuman yang setimpal dengan perbuatannya tersebut sebagaimana telah ditetapkan Tuhan”.
“Kau telah mendengar tuntutan mereka. Katakan pembelaanmu!” kata Umar sambil menatap pemuda tertuduh dihadapannya.
Akan tetapi, pemuda tertuduh ini berjiwa besar dan tak memiliki rasa takut sedikitpun. Dengan tersenyum tenang, ia utarakan pembelaanya dengan kata-kata indah yang tertata rapi.
“amirul Mukminin, demi Allah, tuduhan mereka benar, dan aku pun mengakuinya. Mereka menceritakan peristiwa yang terjadi, dan memberitahukan kejadian yang mereka lihat sekarang, aku akan mengisahkan ceritaku. Setelah itu, apapun keputusanmu akan kuterima dengan lapang dada”. Amirul-Mukminin, aku adalah keturunan Arab badui yang tumbuh di pedalaman. Suatu hari, aku bersama keluargaku pergi mengunjungi kota ini. Di tengah perjalanan, kami melewati kebun yang indah dan subur. Aku mengendarai kuda jantan sendirian, sementara yang lain mengendarai kuda betina. Kudaku itu sangat bagus. Ia bagaikan raja perkasa dengan mahkota di atas kepalanya yang berjalan di tengah-tengah istri dan selirnya. Salah satu di antara kuda yang kami tunggangi mendekati kebun yang daun tamanannya menyeruak keluar pagar. Ia memetik daun tersebut dengan kedua bibirnya lalu memakannya. Aku lantas menariknya untuk menjauhi kebun itu. Tiba-tiba seorang lelaki tua berteriak keras dan menghambur ke arah pagar tangan kanannya yang memegang batu ia hantamkan sekuat tenaga pada kuda tersebut. Ia bagaikan singa buas yang menerkam buruannya tanpa ampun. Kuda itu pun mati karenanya. Melihat kuda itu ambruk disampingnya kemarahanku meledak. Kuraih batu itu dan kuhantamkan padanya. Orang tua itu pun mati setelah mengerang kesakitan, ia menemui ajal dengan batu yang ia gunakan untuk menghabisi kuda tadi. Sejurus kemudian, aku buru-buru menyingkir dari tempat itu, namun belum jauh aku melangkah, kedua pemuda ini menangkapku dan menyeretku ke hadapanmu”.
“Kau telah mengakui perbuatanmu. Kau tak mungkin melepaskan diri. Kau pantas dihukum”, kata Umar.
“Aku patuhi keputusanmu tuan, aku rela dengan hukuman yang ditetapkan islam. Akan tetapi, aku memiliki saudara yang masih kecil. Sebelum meninggal, ayah saudaraku itu mewariskan harta dan emas dalam jumlah besar padanya. Ia titipkan harta itu padaku dan memasrahkan anak itu padaku. Setelah aku bersumpah menyanggupinya, orang itu berpesan, ‘ini untuk saudaramu. Jagalah dengan segenap kemampuanmu. Aku lantas menyembunyikan harta itu dalam lubang yang kugali. Dengan demikian, tak seorangpun tahu selain diriku. Jika kau hukum aku sekarang, harta it akan hilang, penyebabnya adalah dirimu. Kelak, anak kecil itu akan menuntut haknya padamu dihadapan Tuhan. Oleh sebab itu, kumohon kau tangguhkan hukuman ini selama tiga hari, sehingga aku punya kesempatan untuk melimpahkan tanggungjawab anak itu pada seseorang. Dan aku punya penjamin dalam masalah ini.”
Setelah diam sesaat sambil menatap wajah seluruh yang hadir, Umar berkata, “Siapa yang akan menjaminnya dan siap menggantikan posisinya?”
Pemuda tersebut menatap wajah seluruh yang hadir di ruangan itu satu per satu. Sejurus kemudian ia menunjuk Abu Dzar. “Dialah yang akan menjaminku,” katanya tanpa meminta persetujuan Abu Dzar terlebih dahulu.
“Abu Dzar, kau bersedia menjaminya?” tanya Umar
“Ya. Aku akan menunggunya sampai tiga hari,” jawab Abu Dzar. Kedua pemuda itu pun setuju dengan usulan pemuda yang mereka tuduh, dan menjadikan Abu Dzar sebagai penjaminnya.
Di saat masa penangguhan tersebut akan selesai, kedua pemuda tadi datang kembali. Sementara itu, Umar duduk di tengah-tengah mereka. “Abu Dzar, di mana orang yang kau jamin? Mengapa ia lari dari kematian? Kau tidak boleh pergi sebelum memenuhi jaminanmu itu,” kata kedua pemuda tadi pada Abu Dzar.
“Demi Allah, Zat yang maha tahu. Jika batas waktu yang ditentukan habis dan pemuda tadi belum datang, aku pasti memenuhi tanggunganku dan kuserahkan jiwaku. Hanya kepada Allah lah aku memohon pertolongan,” Timpal Abu Dzar mantap
“Aku bersumpah, jika pemuda tadi terlambat, aku tetap akan melaksanakan hukuman terhadap Abu Dzar sesuai dengan tuntutan hukum islam,” tegas Umar
Simpati orang-orang yang hadir tercurah kepada Abu Dzar rasa sedih dan kecewa campur aduk seakan berlomba mengisi benak semua yang berkumpul di tempat itu. Ketika suasana semakin genting, salah seorang sahabat besar mengusulkan agar kedua pemuda tersebut mencabut tuntutan dan menggantinya dengan meminta ganti rugi. Usulan ini ditolak. Keduanya tetap bersikukuh menuntut balas atas kematian ayahnya.
Ketika larut dalam kesedihan karena akan kehilangan Abu Dzar, tiba-tiba pemuda tersebut datang. Ia menghadap Umar bin Khatab dan menyerahkan diri dengan sepenuh hati. Setelah mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan tenang ia melangkah mendekati Umar. “Aku telah melimpahkan tanggungjawab anak kecil itu pada saudara-saudaranya. Kuberitahu dan kuperlihatkan tempat penyimpanan harta itu pada mereka.
Setelah itu aku bergegas kemari untuk memenuhi kewajibanku,” katanya.
Semua orang berdecak kagum akan kejujuran, ketepatannya dalam memenuhi janji, dan keberaniannya menghadap kematian. Ia kemudian berkata, “Orang yang berkhianat takkan diampuni Tuhan, sedangkan orang yang menepati janji pasti akan dikasihi dan diampuni. Aku yakin, jika kematian datang, tak seorang pun mampu menghindarinya. Laksanakan hukuman Tuan, agar tidak timbul anggapan bahwa keadilan telah hilang.”
“Amirul-Mukminin, aku telah menanggung pemuda ini, padahal aku tidak tahu dari mana dia berasal. Aku juga belum pernah melihat dia sebelumnya. Ia memandang kearahku dan berkata, ‘Dialah yang akan menjaminku. ’ Saat itu, aku tak kuasa menolaknya. Rasa kemanusiaanku tak mampu untuk menepis permohonannya itu. Semua kulakukan agar tidak timbul anggapan bahwa keutamaan telah sirna,” kata Abu Dzar.
“Amirul-Mukminin, kami cabut tuntutan kami atas pemuda ini, agar tidak timbul anggapan bahwa kebaikan telah musnah,” timpal kedua pemuda yang menuntut hukuman qishash tadi.
Umar bin Khatab kemudian memberi kabar gembira dengan mengampuni pemuda tertuduh tadi. Dia memuji kejujuran, tanggung jawab, kebesaran hatinya. Amirul-Mukminin juga menyanjung tingginya rasa kemanusiaan Abu Dzar yang melebihi semua orang yang duduk di sekelilingnya. Tak lupa dia juga mengucapkan rasa salut atas keteguhan hati kedua pemuda tersebut dalam melakukan kebaikan.
Umar kemudian memerintahkan agar kedua pemuda tadi diberi uang tebusan atas kematian ayahnya. Namun mereka menolak dan berkata, “kami memberi maaf demi mengharap ridha Allah semata. Dan barang siapa yang niatnya lurus seperti ini, kebaikan yang ia lakukan pasti takkan berubah kerugian.