Diceritakan
bahwa Al Rabi' bin Khutsaim tidak pernah bertemu dengan Rasulullah, namun
akhlaknya mencermikan pribadi yang amat mulia. Diriwayatkan bahwa Al Rabli'
adalah seseorang yang menjaga dirinya dari perbuatan dosa. Beliau senantiasa
selalu berdzikir kepada Allah Swt.
Suatu saat Abd Rahman bin
Ajlan pernah menceritakan kesan pertemuannya. ''Saya pernah bermalam dengan al
Rabi', dan ketika ia yakin bahwa saya telah tidur, secara diam-diam ia bangun,
melaksanakan salat tahajud. Dalam shalatnya ia berulang-ulang membaca ayat
--yang artinya: ''Patutkah orang-orang yang melakukan kejahatan menyangka
bahawa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, dengan menyamakan keadaan (mereka semua) semasa mereka hidup dan semasa
mereka mati? Amat buruklah apa yang mereka sangkakan itu.'' (QS 45: 21). Hal
ini ia lakukan sepanjang malam sampai terbit fajar, dan kedua matanya basah
kuyup air mata.
Hilal bin Isaf pernah menceritakan bagaimana al Rabi'
benar-benar menjaga lisannya dari pembicaraan kotor, atau hal-hal yang tidak
ada gunanya: ''Bila kau duduk di samping al Rabi' sepanjang tahun, ia tidak
akan berbicara denganmu sampai kau bertanya kepadanya, dan ia tidak akan
memulai berbicara kalau kau tidak memulainya, karena ia telah menjadikan dzikir
kepada Allah sebagai pembicaraannya, dan menjadikan diamnya untuk berpikir.'
Al Rabi' benar-benar menyadari makna kehambaannya kepada
Allah, bahwa ia diberi jatah hidup bukan untuk main-main, melainkan untuk
mempersiapkan diri sebagai bekal di akhirat. Karena akhirat adalah kehidupan
yang sebenarnya (perhatikan QS 29: 64). Dalam sebuah perjalanan di tepi Sungai
Furat, al Rabi' pernah berhenti cukup lama di depan tungku pembakaran batu. Al
Rabi' terpaku sunyi melihat lidah api yang demikian tajam menjilat-jilat udara.
Semakin dimasukkan ke dalamnya tumpukan batu, api itu kian membara.