Relasi suami dan istri bukanlah atasan dengan bawahan, bukan majikan dengan buruh, namun “pasangan” dalam arti yang positif.
Berpasangan, saling melengkapi, saling memberi, saling menjadi mitra, menjadi satu tim yang utuh.
Jika suami merasa menjadi atasan, maka menimbulkan temperamen yang suka memerintah, tidak mau mengalah, dan menganggap istri sekadar bawahan yang tidak memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan strategis terkait kehidupan dan masa depan keluarga.
Pun sebaliknya. Jika istri merasa menjadi majikan dan suami dianggap buruh, maka posisinya menjadi tidak seimbang. Buruh tidak boleh melakukan aktivitas yang selayaknya dilakukan majikan, dan harus selalu menurut kepada majikan.
Dengan demikian, menimbulkan relasi yang tidak sehat dan tidak memberdayakan potensi kebaikan.
Bukankah sebelum menikah masing-masing adalah pribadi merdeka yang memiliki hak-haknya, lalu mengapa setelah menikah menjadi saling berebut dan bersaing secara tidak produktif?
Kendati ada kepemimpinan dalam rumah tangga, bukan berarti pemimpin boleh menindas dan menzalimi pihak yang dipimpin. Bukan berarti pemimpin menjadi raja yang berlaku semena-mena terhadap pihak yang dipimpin.
Dalam keluarga, kepemimpinan hendaknya dilandasi oleh cinta dan kasih sayang. Suami dan istri berada dalam satu tim yang memiliki hak serta kewajiban untuk menciptakan keluarga yang bahagia, harmonis, produktif, sehat, dan berprestasi